Joko Pinurbo Meninggal, Indonesia Kehilangan Penyair Terbaik
Penyair Joko Pinurbo berpulang di Yogyakarta. Sastra Indonesia kehilangan salah satu penyair terbaik.
Oleh
HARIS FIRDAUS, ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sastra Indonesia dihinggapi kabar duka. PenyairJoko Pinurbo meninggal dunia pada usia 61 tahun di Yogyakarta, Sabtu (27/4/2024) pagi. Lelaki yang akrab dipanggil Jokpin itu dinilai sebagai salah satu penyair terbaik Tanah Air karena puisi-puisinya dianggap telah menawarkan kebaruan dalam sastra Indonesia.
Kabar meninggalnya Jokpin disampaikan oleh editor Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Mirna Yulistianti, yang selama ini mengedit buku-buku Jokpin. Mirna menyebut dirinya menerima kabar duka tersebut dari istri Jokpin, Nurnaeni Amperawati Firmina, pada Sabtu pagi, melalui aplikasi Whatsapp.
Menurut Mirna, Jokpin meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Sebelumnya, pada November 2023, Jokpin sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa waktu. Dalam wawancara dengan Kompas saat itu, Nurnaeni menyebut, Jokpin mengalami keluhan di paru-paru.
”Setelah tahun 2023, beberapa kali Mas Jokpin opname (rawat inap di rumah sakit). Saya juga sempat menjenguk beliau,” tutur Mirna.
Berdasarkan informasi yang diterima Kompas, jenazah Jokpin akan disemayamkan di Rumah Duka Perkumpulan Urusan Kematian Jogjakarta (PUKJ), Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jenazah sang penyair akan dimakamkan di Kabupaten Sleman, DIY, pada Minggu (28/4/2024).
Mirna menuturkan, Jokpin merupakan salah satu penyair terbaik Indonesia setelah Sapardi Djoko Damono. Meski begitu, Jokpin selalu bersikap rendah hati saat berinteraksi dengan berbagai pihak.
”Sama sekali tidak ada kesombongan di diri Mas Jokpin yang kita tahu dia adalah salah satu penyair terbaik Indonesia,” kata Mirna.
Jokpin juga selalu bersikap kooperatif dengan penerbit bukunya sehingga selalu hadir saat diminta menjadi narasumber.
”Ada beberapa kali kesempatan, ternyata beliau sedang sakit, tapi masih mau menyempatkan diri untuk hadir di bedah buku yang kami adakan,” ujar Mirna yang sudah 17 tahun menjadi editor buku Jokpin.
Mirna memaparkan, Jokpin pun selalu mendukung para penyair muda di Indonesia. Bahkan, Jokpin sebagai penyair senior bersedia menulis puisi persembahan untuk penyair muda, seperti Aan Mansyur dan Adimas Immanuel.
”Mas Jokpin juga sering merekomendasikan beberapa penulis untuk diterbitkan bukunya. Ini penting untuk regenerasi,” katanya.
Kebaruan
Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, Jawa Barat, pada 11 Mei 1962 dan sehari-hari tinggal di Yogyakarta. Dia pertama kali menerbitkan kumpulan puisi pada tahun 1999 dengan judul Celana. Sejak penerbitan buku puisi pertamanya itu, Jokpin langsung mendapat perhatian di dunia sastra Indonesia.
Puisi-puisi Jokpin dinilai menawarkan kebaruan karena banyak bergulat dengan benda-benda sehari-hari, seperti celana, sarung, telepon genggam, dan kamar mandi, yang jarang muncul dalam karya penyair-penyair sebelumnya. Selain itu, puisi-puisi Jokpin terasa segar karena menawarkan humor yang sebelumnya juga tak banyak muncul dalam sejarah perpuisian Indonesia.
Jokpin telah menerbitkan banyak kumpulan puisi, misalnya Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2001), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), Kepada Cium (2007), Tahilalat (2012), dan Baju Bulan (2013).
Buku puisi Jokpin lainnya antara lain Bulu Matamu: Padang Ilalang (2014), Surat Kopi (2014), Surat dari Yogya (2015), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016), Buku Latihan Tidur (2017), Perjamuan Khong Guan (2020), Salah Piknik (2021), Sepotong Hati di Angkringan (2021), Kabar Sukacinta (2021), dan Epigram 60 (2022).
Selain puisi, Jokpin pun menerbitkan karya sastra lain, misalnya novel Srimenanti (2019) serta kumpulan cerita pendek Tak Ada Asu di Antara Kita (2023).
Jokpin juga telah meraih berbagai penghargaan sastra, misalnya Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Sih Award (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001 dan 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002 dan 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005 dan 2015), dan South East Asian (SEA) Write Award (2014).
Kepergian Jokpin juga meninggalkan kenangan mendalam bagi sahabat-sahabatnya, termasuk teman seangkatannya semasa SMA. Salah satu yang merasa kehilangan adalah pengamat budaya dari Universitas Kristen Petra, Surabaya, Theophilus Joko Riyanto, yang pernah hidup bersama Jokpin di Asrama Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, pada tahun 1977-1980.
Di mata Jokri, panggilan Theophilus Joko Riyanto, sahabatnya itu merupakan sosok yang pendiam. ”Mas Jokpin itu pendiam. Lebih ke irit bicara. Tetapi, diksi dalam pergaulan keseharian pun sangat terasa memberi kesan reflektif filosofis,” tuturnya.
Sama sekali tidak ada kesombongan di diri Mas Jokpin yang kita tahu dia adalah salah satu penyair terbaik Indonesia.
Penggunaan diksi yang sederhana dan sarat makna yang kerap tampil dalam puisi-puisi Joko Pinurbo tampaknya memang sudah mengalir dalam kesehariannya. Itulah yang membuat puisi Jokpin benar-benar tampak otentik.
”Penggunaan kata-kata yang sarat makna, tapi mudah dicerna itu tidak hanya di puisinya, dalam kehidupan sehari-hari dia juga demikian. Sejak SMA, Jokpin sudah aktif menulis puisi. Dia kerap menulis untuk majalah dinding Seminari Mertoyudan," ujar Jokri.
Di mata Jokri, Jokpin merupakan sosok yang bersahabat kepada siapa saja dan sangat sederhana hidup kesehariannya. Kedua sahabat ini terakhir bertemu secara fisik pada Juli 2023 saat keduanya sama-sama dalam satu mobil menuju ke lokasi reuni SMA.
Dalam perjalanan ke tempat reuni, keduanya bercerita tentang keseharian hidup teman-teman yang mencerminkan refleksi romantika kehidupan lansia. Obrolan itu mengalir dengan gaya bahasa guyonan.
Khusus untuk reuni itu, Jokpin membuat puisi berjudul ”Sumeleh”. Di akhir puisinya dia menulis: