Marsilia Krenata, Pengayom Orang-orang Terbuang
Marsilia Krenata tak segan bekerja serabutan meski diupah ala kadarnya untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tersisihkan.
Marsilia Krenata (57) mengabdikan hidupnya untuk mengasihi pemulung, gelandangan, pengemis, dan orang dengan gangguan jiwa. Ia rela bekerja serabutan demi mengentaskan mereka meski sempat dikerjai, berpindah-pindah, dan berutang.
Sudah hampir tengah malam, Marsilia terlihat masih terjaga meski siangnya hilir mudik untuk sekadar mengais beberapa puluh ribu rupiah. Ia tak bergaji. Profesi Marsilia tak mentereng lantaran hanya mengojek dengan honor seikhlasnya.
Ia mengantar penumpang dari Pamulang ke Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (14/4/2024), sekitar pukul 10.00. Marsilia menerima upah Rp 50.000. Ia langsung tancap gas untuk mengambil sembako di lokasi pembagian yang jaraknya tak jauh.
Baca juga: Yusy Marie, Literasi Hijau untuk Anak Kalteng
Maklum, terlambat sedikit saja, semua kantong bakal ludes. Bukan untuk Marsilia, paket gratis tersebut dibutuhkan para penghuni pantinya. Ia dengan semringah menunjukkan 4 kilogram (kg) beras, 1 kg gula, 2 liter minyak goreng, dan 1 kg terigu.
Setelah menerima kunjungan mahasiswa sejak sore, ia baru bisa makan sekitar pukul 21.30 di warteg dekat kontrakannya di Pamulang. “Paling, cuma sempat ngopi, pagi. Aku tadi juga siaga terus. Kalau ada gelandangan atau pemulung yang harus dievakuasi, enggak jadi nganter penumpang,” ujarnya.
Demi mengejar honor ala kadarnya pula, ia sesekali membantu warga mengurus akta kelahiran, memperpanjang STNK, dan ikut lintang pukang menolong suami istri tak mampu yang dimintai uang untuk memiliki KTP. Marsilia tak menetapkan tarif.
“Mau dikasih berapa, terserah, tapi aku enggak minta. Kalau mesti bolak-balik, yang penting sepeda motorku diisiin bensin,” ucapnya. Ia sering baru tidur ketika nyaris subuh. Jika mengantuk, Marsilia santai saja terlelap di masjid atau mushala.
Kerap menunggak
Saat ini, panti diisi lima pasien. Marsilia juga melayani 17 warga yang rutin ke rumah sakit dengan kontrol setidaknya sebulan sekali. Mereka yang dirawat datang dan pergi, tetapi ia sudah menebarkan kepedulian kepada sekitar 2.000 orang mengacu kepada rekam medis yang disimpannya.
Biaya yang ditagih jauh dari wajar. Enggak lebih dari setahun, orangnya sudah dibalikin.
”Banyak juga yang hanya diserahkan polisi kemudian kupulangkan. Biasanya, pengemis, pemulung, dan gelandangan,” tuturnya. Tak heran, Marsilia sudah menjadi pengayom orang-orang buangan sejak tahun 2003. Perawatan setiap pasien mengandalkan iuran dari kerabatnya.
Jumlah ideal untuk setiap pasien sebenarnya Rp 3,5 juta per bulan. Keluarga hanya diminta Rp 1,5 juta, itu pun banyak yang kerap menunggak atau mencicil seadanya. Beberapa dari mereka menyetor Rp 100.000 atau Rp 200.000, tetapi rutinitasnya tak menentu.
“Aku enggak bisa maksa. Mereka miskin, makan saja susah. Kalau gratis, aku enggak sanggup. Pasti banyak yang istilahnya, melempar pasien. Dananya enggak ada,” katanya. Ia pun tak segan membuatkan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk mereka yang tersisihkan.
Marsilia mengelola yayasan yang diawali panggilan pegawai puskesmas mengenai orang dengan gangguan jiwa, sementara ayahnya sudah angkat tangan dan setengah menangis. “Enggak ngerti mengurusnya. Biaya perawatannya juga sampai jutaan rupiah,” ujarnya.
Baca juga: Sri Wahyuningsih Sedekah Air dari Langit
Ia membantu manula tersebut mendapatkan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang berlanjut dengan mendirikan yayasan. “Lama-lama, polisi menyerahkan banyak gelandangan. Aku antar biar ketemu keluarganya meski sebagian balik lagi ke jalan,” ucapnya.
Marsilia malah pernah dikerjai orang-orang yang dipercaya mengasuh pengidap skizofrenia. Ia terus dimintai uang dengan dalih untuk memenuhi macam-macam kebutuhan pasien. “Aku susah memantau karena orangnya ke pelosok Kalimantan untuk beraktivitas normal dengan bertani,” katanya.
Pasien itu menanam sayur-mayur, selain mendapatkan sembako dari pemerintah, Marsilia berkali-kali dikabari soal kekurangan uang. “Katanya, beras buat makan sehari 3 kg. Hah. Enggak salah? Aku dimintai duit buat bayar tilang, padahal orangnya tinggal di pinggir hutan,” tuturnya.
Pasien tersebut akhirnya dipulangkan ke Tangerang Selatan dengan beberapa pengantar. Mereka menumpang pesawat dengan ongkos yang tentunya ditanggung Marsilia. “Biaya yang ditagih jauh dari wajar. Enggak lebih dari setahun, orangnya sudah dibalikin,” ujarnya.
Ia mendirikan lembaga swadaya masyarakat Marcilea Foundation, tahun 2010. Meski mencantumkan foundation, Marsilia belum berkecimpung lewat yayasan yang baru direalisasikannya pada tahun 2020. Hunian untuk bernaung pun berubah dari rumah singgah menjadi panti.
“Sekarang, namanya Yayasan Marcilea Peduli Sosial. Memang, beda dengan namaku meski artinya sama-sama semanggi,” ucapnya. Ia enggan membubuhkan namanya karena tak mau yayasan dianggap milik pribadi dengan pertimbangan siapa pun bisa bergabung untuk membantu.
Marsilia benar-benar tak paham tentang yayasan hingga biaya pembuatannya pun dibayari beberapa notaris. Semula, ia menanyakan pengeluaran itu. “Butuhnya Rp 1,5 juta, tapi kupikir, mending buat merawat gelandangan. Notaris-notaris yang peduli lalu ngumpulin uang dan KTP,” katanya.
Sudah demikian sering Marsilia pindah kontrakan. Ia dan pasien-pasiennya pernah bermukim di Anyer, Serang, Banten, tahun 2020. “Aku tempati karena gratis. Setelah setahun, ke Sukabumi, Jawa Barat, terus balik ke Tangerang Selatan,” tuturnya.
Dihantam krisis
Sebelum mencurahkan welas asihnya, Marsilia menjalankan rumah produksi yang dihantam krisis moneter, tahun 1998. Setelah jatuh bangun hingga tahun 2000, usaha tersebut gulung tikar. Selama tiga tahun, apa pun dikerjakan sampai ia sakit keras.
Syukurlah, aku dapat bantuan. Utang mereka sudah terbayar. Saking seringnya wira-wiri di rumah sakit, aku juga pernah disangka calo.
Kepeduliannya berawal sewaktu Marsilia diajari karyawan rumah sakit untuk meringankan beban dengan mengurus Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Pengetahuan itu lantas disebarkan dari mulut ke mulut sampai-sampai banyak orang yang terabaikan diserahkan kepadanya.
“Polisi juga datang bawa orang telantar. Katanya, daripada susah-susah nyari di jalan,” ujarnya seraya tersenyum. Marsilia bingung lantaran keuangannya kembang kempis. Ia sampai berutang untuk mencarter angkot untuk mengangkut pasien ke rumah sakit.
Marsilia sungguh masygul tatkala mendapati beberapa sopir angkot yang kekurangan setoran hingga diomeli dan diberhentikan juragannya. “Syukurlah, aku dapat bantuan. Utang mereka sudah terbayar. Saking seringnya wira-wiri di rumah sakit, aku juga pernah disangka calo,” ucapnya.
Ia beberapa kali dibantu anggota DPR, Ribka Tjiptaning, dengan meretas birokrasi berbelit-belit, disediakan wisma, dan meminjam sepeda motor. “Berapa kali ganti kontrakan, aku lupa. Pokoknya, setiap pindah, selalu deg-degan. Habis, mikirin bayarnya,” tuturnya sambil tertawa.
Marsilia St Krenata
Tempat tanggal lahir: Jakarta, 30 Desember 1966
Pendidikan:
- SD Negeri 9 Semper, Jakarta
- SMP Negeri 4 Cepu, Jawa Tengah
- SMA Dwiwarna Medan, Sumatera Utara
Suami: Suharyanto Corakh (62)
Anak: 4