Malam itu aku mengendus firasat buruk. Aku mencium bau busuk kesengsaraan bersama datangnya seorang laki-laki tua.
Oleh
JAGAD WIJAKSONO
·3 menit baca
Kuendus firasat buruk. Entah bagaimana aku selalu dapat merasakan suram dari firasatku yang tajam tentang orang-orang sengsara bernasib muram. Aku seakan memikul kutukan akan kematian, entah sejak kapan, aku seperti dapat merasakan hawa dingin dari kematian, firasatku akan bekerja dengan begitu tiba-tiba ketika aku berjarak begitu dekat dengan kematian.
Malam itu seperti malam-malam lainnya yang berjalan datar, aku meninggalkan kantor dan segudang penat dan makian. Aku selalu membuat langkah panjang-panjang meninggalkan kantor menuju stasiun kereta mengejar keberangkatan terakhir. Riuh kota terpaksa membuatku selalu menunda jam kepulangan demi menghindari sesak kereta yang hendak meledak tersumpal penumpang yang terlalu banyak.
Di jam-jam akhir kereta begitu kosong melompong bagai selongsong tanpa peluru, dan aku dapat sedikit meredakan lelah dan penatku, terhindar dari hiruk-pikuk kota dan segala tahi-tahinya. Namun, memang tak ada yang dapat menepis sial yang telah ditakdirkan.
Malam itu aku mengendus firasat buruk. Aku mencium bau busuk kesengsaraan bersama datangnya seorang laki-laki tua yang melangkahkan kakinya masuk ke gerbong yang aku tumpangi di salah satu stasiun tepat setelah aku memarkirkan bokongku di kursi panjang kereta. Aku langsung memalingkan wajah, tak ingin memancing jerangkong yang membawa hawa muram kesengsaraan itu duduk di dekatku, tapi sial, jerangkong berambut putih berkulit kendur itu memarkirkan bokongnya tepat di sebelahku.
Tut, tut, tut waktunya maut menjemput, gumamku dalam hati. Isyarat kematian itu secara otomatis muncul.
Anjinglah, sungutku, begitu banyak bangku kosong, kenapa dia memilih duduk di sini. Tepat ketika aku hendak beranjak pindah, jerangkong itu menggenggam lenganku, menahanku untuk pergi. ”Duduklah di sini anak muda,” pintanya memelas.
Didorong oleh sesuatu yang entah, aku mengurungkan niat untuk beranjak dan kembali duduk di tempat semula. Anjing lagi, sungutku, kenapa aku mudah iba.
Ia menyandarkan punggungnya begitu saja. Tubuhnya yang tinggal tulang membuatnya tampak tambah renta. Ia menarik napasnya panjang dan mengembuskannya sekaligus. Napasnya terdengar berat, matanya terpejam seolah ada sesuatu yang begitu berat menimpa pundaknya. Kondisinya yang begitu memprihatinkan semakin menarik perhatianku. Nasib sial ini datang tanpa permisi. Anjing lagi, sungutku.
Ia mulai membuka mata. ”Haaaa, jika telah serenta ini, kita hanya tinggal menunggu waktu untuk mati.”
Sosok jerangkong itu mengingatkanku pada kematian. Kehadirannya seolah diikuti oleh malaikat maut.
Haaaa, jika telah serenta ini, kita hanya tinggal menunggu waktu untuk mati.
Tut, tut, tut waktunya maut menjemput, gumamku lagi dalam hati.
Jerangkong itu kembali menarik napasnya panjang dan mengembuskannya sekaligus, tapi kali ini matanya tidak tertutup, iya melirik, memandang wajahku. ”Kau mirip dengan anak lelakiku, anak muda.”
Napasnya terasa lebih berat ketika ia berbicara.
Tut, tut, tut waktunya maut menjemput, kembali aku gumamkan mantra itu dalam hati.
”Sayang, anakku mati di usia muda. Jika ia masih hidup, mungkin usianya kini sepantaran dirimu. Aku selalu berharap bisa segera menyusulnya.”
Tut, tut, tut waktunya maut menjemput. Aku mengulangi mantra itu lagi dan lagi.
Aku tak menghiraukan keluh kesah jerangkong itu. Aku hanya memperhatikan kesengsaraan yang dipikulnya. Ia membawa firasat-firasat akan kematian, firasat-firasat kesengsaraan. Di luar jendela kereta, hujan turun rintik-rintik, langit begitu pucat, menambah kesuraman hari itu.
Setelahnya ia terdiam, kembali memejamkan matanya, dadanya terlihat naik turun dengan perlahan seirama dengan udara yang ia tarik panjang dan embuskan sekaligus. Semakin lama napasnya semakin pendek. Ia tergeletak, dan dadanya berhenti naik turun. Malaikat maut sepertinya mencabut nyawa jerangkong itu dengan tergesa, membuat dada pria itu berhenti tiba-tiba.
Aku terus memperhatikan tubuh tua itu. Ia terkapar lunglai di atas bangku kereta, tepat di sebelahku. Maut bisa datang kapan saja. Maut datang bahkan bagi ia yang telah begitu sengsara.
Tut, tut, tut akhirnya maut benar-benar menjemput.
Jagad Wijaksono, Aktif di Komunitas Ngamparboekoe Cimahi. Menulis cerpen dan puisi. Beberapa puisi terbit di media lokal dan termuat dalam antologi berjudul 3 Dermagadan Bintang di Pulau Garam (Sastra Bunga Tunjung Biru, 2017)