Tagana dan Kekhawatiran Publik akan Bencana
Sukarelawan Tagana menjadi salah satu pihak yang berperan di garda terdepan tatkala masyarakat menghadapi bencana.
Sukarelawan Taruna Siaga Bencana atau Tagana sekilas mungkin tidak populer di kalangan masyarakat luas. Meskipun demikian, dalam situasi bencana, sukarelawan Tagana hadir bersentuhan langsung dengan masyarakat yang terdampak bencana.
Dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Taruna Siaga Bencana disebutkan, Tagana berpotensi sebagai sumber kesejahteraan sosial sekaligus modal strategis berbasis masyarakat dalam konteks sistem penanggulangan bencana nasional.
Didirikan sejak tahun 2004, Tagana didefinisikan sebagai sukarelawan sosial atau tenaga kesejahteraan sosial yang berasal dari masyarakat. Kepedulian dan peran aktif Tagana dalam penanggulangan bencana difokuskan pada bidang perlindungan sosial. Dengan kata lain, sisi pendampingan terhadap masyarakat yang terdampak menjadi perhatian Tagana.
Jika merujuk pada permensos di atas, yang dimaksud dengan perlindungan sosial adalah segala upaya yang ditujukan demi mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial. Peran ini menjadi krusial mengingat kejadian bencana, baik itu alam maupun non-alam, sering kali membawa dampak kerentanan sosial dalam jangka waktu tidak tentu.
Baca juga: Perjuangan Tagana untuk Selamat dan Menyelamatkan
Khawatir bencana
Dari sisi publik yang hidup di Indonesia, bencana yang berpotensi timbul di wilayah sekitar tempat tinggalnya menjadi hal yang disadari. Dari hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 23-25 April 2024 tergambar bahwa publik cenderung khawatir akan adanya bencana yang mungkin timbul di sekitar tempatnya tinggal.
Sebanyak 49,1 persen responden menyatakan khawatir akan adanya bencana yang mungkin terjadi di wilayahnya, baik itu alam maupun non-alam.
Bahkan, terdapat 37,3 persen responden yang mengaku sangat khawatir dengan adanya bencana. Dengan kata lain, delapan dari 10 responden merasakan kekhawatiran kemungkinan terjadi bencana di wilayahnya. Sementara itu, hanya 13,2 persen yang mengaku tidak khawatir.
Jika dilihat lebih dalam berdasarkan wilayah domisilinya, derajat kekhawatiran yang tinggi dialami baik mereka yang tinggal di wilayah perdesaan maupun perkotaan. Sebanyak 87,6 persen responden perkotaan mengaku khawatir terhadap potensi bencana di sekitarnya. Sementara mirip dengan itu, 84,7 persen responden perdesaan merasakan hal yang sama.
Tingginya derajat kekhawatiran publik terhadap kejadian bencana di Indonesia bukan tanpa sebab. Melihat data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tampak bahwa kejadian bencana di Indonesia berkisar di angka 3.000 hingga 5.000 kejadian dalam setahun.
Dalam kurun waktu lebih kurang 10 tahun terakhir, kejadian bencana tertinggi terjadi pada tahun 2020 dengan angka 5.004 kejadian dalam setahun. Angka tersebut kemudian menurun menjadi 3.536 kejadian pada tahun 2021 dan 2.402 kejadian sepanjang tahun 2022.
Akan tetapi, kembali terjadi peningkatan mencapai 3.238 kejadian bencana. Terakhir hingga kuarter pertama tahun 2024 tercatat 555 kejadian bencana sudah terjadi di Indonesia.
Apabila dilihat berdasarkan jenis bencananya, bencana kekeringan menjadi yang paling banyak terjadi sejak 2015 hingga awal tahun 2024, dengan jumlah 8.068 kejadian. Selanjutnya adalah bencana kekeringan disusul oleh banjir dengan 7.906 kejadian dan tanah longsor sebanyak 7.040 kejadian.
Berikutnya, mengingat Indonesia berada di jalur cincin api dan dikelilingi lempeng-lempeng samudra, gempa bumi juga menjadi bencana yang terjadi. Sepanjang kurun waktu yang sama terjadi 4.727 kejadian gempa bumi di Indonesia.
Jika melihat secara khusus bencana yang terjadi pada tahun 2024 berdasarkan wilayahnya, maka Sumatera menjadi pulau yang paling sering mengalami kejadian bencana sejauh ini dengan 213 kejadian. Berikutnya berselisih tidak jauh dari itu, sebanyak 211 kejadian bencana terjadi di Pulau Jawa.
Selanjutnya, jumlah kejadian bencana di wilayah Sulawesi sebanyak 83 kejadian dan Kalimantan 31 kejadian. Sampai di sini, tampak menjadi wajar mengapa publik Indonesia dominan merasakan kekhawatiran akan bencana yang mungkin terjadi di wilayahnya.
Baca juga: Masyarakat sebagai Ujung Tombak Penanggulangan Bencana
Peran Tagana
Di tengah kekhawatiran publik akan bencana, peran Tagana menjadi relevan. Hal ini pun diamini oleh publik. Masih dari hasil jajak pendapat, 50,2 persen responden menyatakan peran sukarelawan Tagana dalam menanggulangi bencana penting. Bahkan, terdapat 47,6 persen yang menyatakan peran Tagana sangat penting. Hanya 0,9 persen yang menyatakan peran Tagana tidak penting.
Penilaian mayoritas responden yang menganggap penting peran Tagana menunjukkan harapan di tengah kecemasan. Dengan model sukarelawan berbasis masyarakat, diharapkan Tagana berada di tengah-tengah masyarakat secara langsung.
Dengan kata lain, saat bencana terjadi, tak perlu waktu untuk menunggu adanya bantuan dan penanggulangan. Sebaliknya, mengingat tempat tinggal para sukarelawan yang juga menyatu dengan masyarakat, sewaktu-waktu terjadi bencana, para sukarelawan Tagana bisa segera bertindak dengan cepat.
Harapan masyarakat akan keberadaan Tagana di tengah-tengah mereka tampak pula dari hasil jajak pendapat. Sebanyak 60,6 persen responden atau lebih dari separuh menilai bahwa keberadaan sukarelawan Tagana harus sampai tingkat desa atau kelurahan. Hal ini menantang pengelolaan Tagana yang rapi hingga level desa atau kelurahan sekalipun secara formal para sukarelawan berada di bawah Kementerian Sosial.
Baca juga: Maksimalkan Kampung Tangguh untuk Mitigasi Bencana
Tantangan
Di tengah peran krusial Tagana mendampingi masyarakat menghadapi bencana, publik pun memberikan catatan untuk diperhatikan. Berbicara tentang masalah terkait Tagana, publik menilai minimnya anggaran Tagana masih menjadi permasalahan yang mendesak untuk diselesaikan. Tak kurang dari 38,2 persen responden menyatakan hal tersebut.
Selain itu, 22,8 persen menilai koordinasi antarlembaga dalam menangani bencana menjadi hal yang perlu diperhatikan. Tak ketinggalan, 18,4 persen melihat kesejahteraan sukarelawan Tagana juga harus diperhatikan.
Dengan statusnya sebagai sukarelawan, Tagana memang tak mendapatkan upah tetap sebagaimana pegawai. Sejauh ini, Kemensos memperhatikan kesejahteraan para sukarelawan dengan pemberian tali asih sekitar Rp 250.000 per bulan. Angka ini bisa saja dipandang cukup kecil mengingat kejadian bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu.
Pada poin berikutnya, 14,6 persen juga menilai jumlah sukarelawan yang minim masih menjadi masalah terkait Tagana yang perlu diselesaikan. Terkait jumlah, berdasarkan data Kemensos tahun 2021, terdapat total 39.000 sukarelawan Tagana.
Di sisi lain, jumlah korban terdampak bencana yang dicatat BNPB sepanjang 2020 hingga 2024 mencapai 12 juta jiwa. Dengan kata lain, jumlah sukarelawan Tagana tak sampai 1 persen dari jumlah korban yang terdampak bencana dalam tiga tahun terakhir.
Di balik masalah yang dinilai perlu diselesaikan, ada harapan yang ditunjukkan publik. Harapan tersebut tampak dalam pernyataan publik yang cenderung puas terhadap upaya pemerintah dalam menanggulangi bencana. Tak kurang dari 73,5 persen responden mengaku puas terhadap upaya pemerintah menanggulangi bencana.
Tingkat kepuasan ini selayaknya menjadi modal penting bagi pemerintah untuk terus memperbaiki upaya penanggulangan bencana. Memperhatikan pengelolaan sukarelawan Tagana untuk benar-benar hadir di garda terdepan penanggulangan bencana bisa menjadi salah satu langkah penting dari serangkaian langkah lain yang dapat terus diupayakan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Tagana Jakarta Siap Sedia di Balik Layar