Waspadai Penurunan Lebih Dalam Nilai Tukar Rupiah
Situasi geopolitik dunia juga memperburuk nilai tukar rupiah. Konsolidasi politik menjadi jaminan stabilitas.
Dalam satu bulan terakhir, nilai tukar rupiah melemah hingga mencapai titik normal baru. Tanpa adanya intervensi yang efektif, pelemahan kurs ini akan berdampak fatal pada situasi ekonomi nasional. Terlebih lagi, gelagat Bank Sentral AS bisa memicu rupiah terperosok lebih dalam hingga akhir 2024 mendatang.
Per minggu kedua April, rupiah mengalami penurunan nilai tukar yang signifikan. Pada 9 April lalu, nilai tukar rupiah merosot sampai di atas angka Rp 16.000 per dollar AS. Angka tersebut menjadi titik terendah rupiah selama 25 tahun terakhir.
Kali ini pelemahan nilai tukar rupiah didorong oleh beberapa faktor. Faktor pertama yang menekan nilai tukar rupiah ialah kebijakan moneter dari bank sentral AS. Tidak hanya rupiah, kebijakan moneter ”Paman Sam” ini memang berdampak terhadap nilai tukar mata uang negara-negara lain.
Hal ini karena kebijakan The Fed, terutama terkait dengan suku bunga acuan, secara tidak langsung bisa berpengaruh terhadap arus modal global.
Ketika suku bunga acuan tertahan di angka yang tinggi, investor global akan lebih tertarik untuk berinvestasi di AS karena imbal balik yang menggiurkan dan risiko yang relatif kecil. Hal inilah kemudian yang akan membuat nilai tukar dollar AS makin menguat.
Baca juga: Nilai Tukar Rupiah Melemah, Harga Barang Bisa Naik
Situasi AS
Di AS sendiri, situasi makro ekonomi tidak seperti yang diperkirakan. Sebelumnya, The Fed memperkirakan inflasi perlahan bisa ditekan hingga di level 2 persen. Namun, hingga Maret lalu, tingkat inflasi di negara tersebut masih mengambang di kisaran 3 persen.
Melesetnya asumsi The Fed ini membuat lembaga tersebut merevisi rencana kebijakan moneter AS. Di awal tahun, The Fed memberikan sinyal bahwa setidaknya akan beberapa kali dilakukan penurunan suku bunga acuan. Harapannya, langkah ini akan memantik pertumbuhan untuk melaju lebih cepat.
Namun, situasi inflasi yang masih di luar target itu kemungkinan besar membuat The Fed akhirnya menunda rencana pengurangan suku bunga.
Awalnya, kebijakan penurunan suku bunga direncanakan untuk diambil pada September mendatang. Namun, rencana ini diundur setidaknya hingga Desember 2024. Bahkan, tak tertutup kemungkinan, kebijakan penurunan ini baru diambil pada triwulan I-2025.
Prakiraan terhadap langkah The Fed ini juga sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS. Data dari Reuters, berdasarkan capaian pada triwulan I-2024, diperkirakan pertumbuhan PDB AS tahun ini berada di sekitar 2,4 persen dengan rentang 1-3,1 persen.
Hal ini pun diperkuat dengan langkah International Monetary Fund (IMF) yang merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2024, dari yang awalnya 2,1 persen pada Januari menjadi 2,7 persen. Kenaikan ini sendiri didasari perbaikan di sisi lapangan kerja dan pengeluaran konsumsi yang lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya.
Estimasi ini cukup jauh di atas ekspektasi dari The Fed. Bank Sentral AS menakar pertumbuhan ekonomi AS (non-inflationary growth rate) pada 2024 akan tidak jauh dari angka 1,8 persen. Walhasil, estimasi-estimasi di atas pun memberikan kepercayaan diri lebih bagi The Fed bahwa situasi makro ekonomi di AS relatif stabil.
Hal ini pun membuat opsi kebijakan moneter yang dramatis menjadi tidak relevan, setidaknya dalam waktu dekat. Urungnya The Fed untuk menurunkan suku bunga ini akan membuat dollar AS tetap kuat. Tak ayal, bagi Indonesia, dollar AS yang perkasa berpotensi untuk menjadi faktor yang makin menekan rupiah.
Baca juga: Pelemahan Rupiah Berpotensi Picu Lonjakan Harga, Pengusaha Berharap Ada Intervensi
Defisit transaksi berjalan dan instabilitas geopolitik
Kuatnya posisi dollar AS sebagai faktor eksternal ini juga diperparah dengan situasi neraca transaksi berjalan Indonesia. Data terakhir menunjukkan bahwa pada triwulan I-2024, neraca perdagangan Indonesia surplus 7,31 miliar dollar AS.
Meskipun masih melanjutkan tren, surplus perdagangan Indonesia ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan surplus di triwulan I-2023 dengan surplus di atas 12 miliar dollar AS.
Menurunnya surplus perdagangan ini bisa menjadi sinyal terhadap situasi neraca transaksi berjalan. Beberapa lembaga, seperti Bank Permata dan BCA, memprediksi neraca transaksi berjalan Indonesia akan mengalami defisit di kuartal I-2024. Bahkan, posisi ini pun bisa berlanjut hingga kuartal kedua, kecuali harga komoditas global mengalami perbaikan.
Defisit neraca transaksi berjalan ini bisa menjadi faktor yang menekan rupiah. Dalam perspektif investor, defisit neraca transaksi berjalan menjadi salah satu faktor utama yang dilihat dalam sebuah pasar.
Ketika besar pasak daripada tiang, cadangan devisa akan berkurang. Keadaan ini bisa mengikis kemampuan otoritas moneter dalam menjaga nilai tukar mata uang. Tak ayal, defisit pada transaksi berjalan bisa menjadi preseden yang buruk.
Preseden ini, ditambah dengan sentimen ketidakpastian global, bisa memperburuk pasar modal. Perkiraan dari BI menunjukkan bahwa transaksi modal dan finansial Indonesia pada triwulan pertama hingga kedua pada 2024 akan mencatatakan defisit. Situasi kapital yang terus mengalami net outflows ini juga berpotensi untuk terus menekan nilai tukar rupiah.
Faktor lain yang bisa turut menekan nilai tukar rupiah ialah ketidakpastian situasi geopolitik dunia. Konflik Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan ditambah dengan memanasnya situasi di timur tengah akibat perang Israel-Palestina membuat situasi ekonomi global penuh dengan ketidakpastian.
Situasi yang tak menentu ini membuat para investor cenderung mengambil langkah yang aman dengan berinvestasi di pasar dengan risiko yang lebih rendah.
Sentimen ini pun membuat arus modal ke Indonesia, sebagai pasar alternatif, menjadi tertahan. Tanpa adanya intervensi di pasar, modal akan terus mengalir keluar Indonesia dan nilai rupiah pun bisa makin tertekan.
Baca juga: Antisipasi Dampak Rupiah dan Minyak
Stabilitas politik
Dari beberapa asumsi yang muncul, tidak berlebihan apabila ada kekhawatiran akan kian melemahnya nilai tukar rupiah. Selain kebijakan dari otoritas moneter, upaya stabilisasi nilai tukar rupiah ini juga perlu dilakukan oleh lembaga lain. Salah satunya ialah lembaga politik dan pemerintahan.
Pasalnya, situasi pasar tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik nasional. Selain analisis dari data fundamental dan teknikal, ekspektasi para pemodal juga menjadi hal yang ikut memengaruhi pergerakan pasar. Tanpa adanya stabilitas, investor pun sulit untuk percaya dan menanamkan modalnya di Indonesia.
Konsolidasi pascapemilu menjadi krusial untuk bisa membantu menjaga nilai tukar rupiah.
Tak ayal, dalam waktu dekat, konsolidasi pascapemilu menjadi krusial untuk bisa membantu menjaga nilai tukar rupiah. Merekatnya hubungan para elite yang berkontestasi bisa memberi sinyal bahwa instabilitas yang dibawa oleh pemilu lalu telah mereda.
Selain itu, terlepas dari hasil pilpres yang sudah tuntas, pihak pemenang juga perlu memikirkan masak-masak soal koalisi ke depan. Terlebih lagi, penempatan sosok-sosok yang nantinya akan menggawangi pos-pos strategis yang berhubungan dengan ekonomi.
Jangan sampai pemilihan menteri nanti justru akan makin menurunkan keyakinan pasar terhadap kemampuan negara dalam mengatur dapur perekonomiannya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pelemahan IHSG Berlanjut, Kebijakan Nilai Tukar Rupiah Dinanti