Adu Kekuatan Udara Israel dengan Iran, Siapa Lebih Unggul?
Dengan persenjataan jarak jauhnya, kekuatan militer Iran tidak dapat diremehkan oleh militer Israel.
Serangan rudal dan drone dari Iran yang menyasar wilayah Israel pada Sabtu (13/4/2024) menjadi penanda babak baru konflik negara adidaya di kawasan Timur Tengah. Serangan ini membuat tensi geopolitik menjadi tinggi dan berisiko mendorong perang terbuka antarnegara. Apabila sungguh terjadi, seperti apa gambaran kekuatan militer Israel berhadapan dengan militer Iran?
Kedua negara yang tengah bersitegang itu secara umum memiliki pengalaman pertempuran yang kurang lebih sama. Iran ataupun Israel pada masa lampau pernah melalui peperangan dengan negara tetangga. Iran pada masa pemerintahan Ruhollah Khomeini, pemimpin tertinggi pertama Iran setelah revolusi, pernah berhadapan dengan Irak di bawah komando Saddam Hussein. Perselisihan perbatasan menjadi penyulut bara konflik.
Konfrontasi antara Iran dan Irak berlangsung delapan tahun, mulai 22 September 1980 dan berakhir dengan gencatan senjata pada 1988. Konflik berlangsung relatif lama karena pertempuran berjalan secara statis, menggunakan parit-parit, gempuran artileri, serangan gas beracun, serta serangan serempak dengan serdadu berjumlah besar. Metode peperangan Iran-Irak mirip dengan strategi Perang Dunia Pertama, terbilang konvensional jika melihat pada konteks tahun 1980-an.
Sementara itu, terdapat dua pengalaman Israel berseteru dengan negara tetangga yang cukup signifikan, yakni Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967) dan Perang Yom Kippur (6-25 Oktober 1973). Perang Enam Hari terjadi ketika Israel melancarkan serangan udara secara mendadak dan besar-besaran menyasar pangkalan Angkatan Udara Mesir bertajuk Operasi Fokus. Secara bersamaan Israel menyerbu Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai. Dalam peperangan ini, Israel berhadapan dengan Mesir, Jordania, dan Suriah.
Perang Enam Hari dimenangi oleh Israel dengan berhasil mencaplok Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan. Pascaperang, wilayah Israel bertambah kira-kira tiga kali lipat luasnya.
Enam tahun kemudian pecah Perang Yom Kippur yang bertepatan dengan hari raya Yom Kippur, hari raya umat Yahudi. Serangan dilancarkan oleh Mesir dan Suriah. Misi utamanya adalah merebut kembali wilayah mereka yang direbut Israel pada Perang Enam Hari.
Hasil akhir, Perang Yom Kippur dimenangi oleh Israel yang berhasil memukul mundur musuhnya, tetapi harus merelakan Semenanjung Sinai kembali ke pangkuan Mesir.
Baca juga: Ayatollah Khamenei: Iran Tunjukkan Kekuatannya Melawan Israel
Berkaca dari sejarah tersebut, penentu hasil akhir dari kampanye militer disokong oleh banyak faktor. Pada konteks militer modern saat ini, efek kejutan tetap menjadi salah satu yang penting. Mencari titik terlemah lawan, kemudian menyerang secara mendadak atau tanpa terdeteksi.
Kemudian, perang modern juga mengandalkan koordinasi antara angkatan udara, darat, dan laut sebagai satu kesatuan. Menilik sejarah konflik bersenjata di Timur Tengah, kekuatan udara memegang peran penting untuk melancarkan serangan mendadak. Serangan tersebut ditujukan untuk melemahkan pertahanan lawan sekaligus meraih dominasi di ruang udara musuh.
Lantas, bagaimana melihat posisi Iran dan Israel apabila menyandingkan dua kekuatan militer mereka yang tersedia saat ini?
Kekuatan angkatan udara
Matra udara menjadi ujung tombak ketika melancarkan agresi militer, minimal sebagai serangan pembuka dan menimbulkan efek kejut yang luar biasa. Pesawat terbang dalam waktu sekejap dapat menerobos wilayah udara lawan dan menyerang target. Seperti yang dilakukan Israel terhadap pangkalan udara Mesir pada Perang Enam Hari.
Merujuk pada data kekuatan militer yang dihimpun International Institute for Strategic Studies (IISS), pada akhir 2022 Israel memiliki 315 jet tempur yang beroperasi, sedangkan Iran memiliki 289 pesawat jet tempur. Secara kuantitas tampak Israel lebih unggul. Tidak hanya dari segi kuantitas, secara kualitas pun alutsista Iran tertinggal.
Sebagai catatan, dilansir dari Reuters, pada akhir 2023 Iran mengemukakan kesepakatannya dengan Rusia atas pembelian pesawat jet Su-35 yang merupakan pesawat tempur generasi 4 plus. Pesawat tersebut digadang-gadang mampu menandingi burung tempur tercanggih Amerika Serikat, yakni F-35. Saat ini satu-satunya negara Timur Tengah yang mengoperasikan F-35 dalam jajaran arsenalnya hanya Israel.
Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan apakah Su-35 pesanan Iran sudah dikirim oleh Rusia, atau bahkan sudah beroperasi di bawah bendera Iran. Kabar terkini dari The Washington Post (15/4/2024) menunjukkan belum adanya kejelasan akan keberadaan Su-35 pesanan Iran. Karena itu, perbandingan angkatan udaran Iran dan Israel masih belum memasukkan Su-35 sebagai faktor kunci.
Tanpa kehadiran Su-35, angkatan udara Iran di atas kertas kalah kualitas dari Israel. Pesawat tempur Iran sejauh ini hanya terdiri atas dua generasi. Terdiri dari generasi di era kekuasaan Wangsa Pahlevi diperoleh dari Amerika Serikat, kemudian di era pascarevolusi diisi oleh pesawat dari Rusia dan China.
Pesawat Iran yang merupakan pabrikan AS dan masih berdinas antara lain F-14A Tomcat, F-5E Tiger, serta F-4 Skyhawk berbagai varian. Pesawat-pesawat tersebut menyambung hidup dengan susah payah, sebab Iran terkena sanksi embargo pesenjataan, sehingga tidak bisa memperoleh suku cadang untuk pesawat buatan AS, kecuali mendapatkannya melalui pasar gelap.
Baca juga: AS dan G7 Jatuhkan Sanksi Lagi terhadap Iran
Generasi pesawat rilisan Rusia pun berusia relatif tua, antara lain terdapat Sukhoi Su-24 dan Mikoyan MiG-29 yang keduanya mulai berdinas di AU Iran sejak tahun 1990. Pesawat tersebut seangkatan dinasnya dengan 17 pesawat Chengdu F-7 buatan China yang masih aktif hingga sekarang.
Pada kubu Israel, untuk pesawat tempur disokong sepenuhnya oleh AS. Armada paling tua milik Israel terdiri atas F-15 dari varian A hingga D yang berjumlah 58 unit yang masih aktif. Pesawat-pesawat tersebut berdinas sejak tahun 1976 dan menjalani pemutakhiran untuk meningkatkan kemampuan pertempuran.
Kemudian, pada era 1980-an, angkatan udara Israel disokong oleh F-16 dengan berbagai tipenya. Paling baru varian F-16 yang dioperasikan oleh Israel, yakni tipe I yang diberi nama julukan ”Sufa”. Pesawat tersebut adalah upgrade dari F-16D yang dilakukan secara mandiri oleh Israel, yang berarti sejumlah komponennya dibuat secara swadaya di dalam negeri.
Armada udara Israel yang terbaru dan paling canggih ialah Lockheed F-35I yang sudah dibekali dengan kemampuan siluman dan dapat mengeliminasi sejumlah target dalam waktu bersamaan, baik target di udara maupun di permukaan.
Israel lawan Iran
Apabila berhadapan di palagan pertempuran, F-35I milik Israel paling dekat hanya dapat ditandingi oleh Su-35. Itu pun harus berjuang ekstra keras bagi Su-35 generasi empat plus untuk mengimbangi kemampuan teknologi F-35. Namun, hingga kini Su-35 pesanan Iran itu belum ada kepastian keberadaannya di pangkalan tempur Iran.
Dengan demikian, F-35 Israel seperti tiada tandingannya di udara apabila kedua negara itu menggelar perang terbuka. F-35I merupakan pesawat generasi kelima yang memiliki kemampuan siluman yang sulit terdeteksi lawan dan memiliki jangkauan serangan yang luas. F-35I dapat melacak dan menyerang target yang bukan pesawat siluman dengan jangkauan 200 kilometer.
Deskripsi tersebut sebagai gambaran superioritas angkatan udara Israel di atas kertas apabila melawan Iran. Dengan mengandalkan pesawat tempur Iran yang relatif tidak muda lagi, seperti F-14A Tomcat, F-5E Tiger, F-4 Skyhawk, Sukhoi Su-24, Mikoyan MiG-29, dan Chengdu F-7, Iran harus berjuang ekstra berat menghadapi kemampuan tempur pesawat-pesawat Israel. Dengan skuadron tempur Israel yang juga diperkuat armada F-16 termutakhir, pertempuran udara akan sangat memberatkan bagi Iran.
Baca juga: Saat ”Drone” dan Rudal Iran Menyerang Israel…
Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa kondisi alutsista udara Iran saat ini bisa dibilang masih relatif lemah apabila harus berhadapan dengan Israel. Meski demikian, peluang terjadinya pertempuran udara ini tergolong kecil karena batas Israel dan Iran terhalang oleh beberapa negara sehingga pertempuran udara dog fight secara langsung akan sulit terjadi. Kecuali, sudah mendapat persetujuan dari negara di sekitar Israel-Iran, seperti Irak, Suriah, dan Libanon.
Kemungkinan pertempuran yang paling besar adalah menggunakan persenjataan lintas udara, seperti roket atau rudal yang diluncurkan lewat kendaraan tempur multiple launch rocket projector (MLRS). Selain itu, juga mengunakan drone yang dilengkapi misil penghancur. Untuk saat ini, produksi rudal jarak jauh dan juga drone sedang ditingkatkan produksinya di Iran. Hal ini tampak dari pawai militer yang digelar Iran pada 18 April 2024, beberapa hari setelah serangan Iran terhadap wilayah Israel.
Dengan persenjataan lintas udara tersebut, Iran tak lagi bisa dianggap remeh oleh Israel. Kemampuan alutsista jarak jauh itu mendorong tingkat deterrence effect Iran menjadi sangat signifikan. Apalagi, Iran dikenal sebagai salah satu negara yang mampu memperkaya uranium untuk diubah menjadi persenjataan nuklir yang sangat mematikan.
Jadi, Iran secara keseluruhan tidak bisa dianggap lawan yang kecil oleh Israel. Bahkan, dunia pun menilai kesiapan pertempuran Iran secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan Israel. Hal ini terlihat dari data Global Firepower yang menempatkan Iran pada posisi ke-14 dunia atau tiga tingkat di atas Israel yang berada di urutan ke-17 dunia.
Untuk perseteruan yang terjadi saat ini, justru Israel yang seharusnya khawatir jika memang harus menggelar perang terbuka melawan Iran. (LITBANG KOMPAS)