Jajak Pendapat ”Kompas”: Perayaan Idul Fitri di Indonesia, Satu Tradisi untuk Semua
Di balik gempita merayakan Idul Fitri di Indonesia, tampak cerminan spirit kebinekaan bangsa di dalamnya.
Bangsa Indonesia masih dalam suasana sukacita merayakan Idul Fitri 1445 Hijriah. Bukan hanya menjadi hari raya keagamaan umat Islam, Lebaran ternyata dipersepsikan sebagai milik semua bangsa Indonesia. Ragam tradisi perayaan Idul Fitri yang multidimensi dan inklusif dipandang sebagai alasan utama mengapa perayaan keagamaan ini pada akhirnya diterima oleh sebagian besar penduduk Indonesia yang beragam dan majemuk.
Hal ini terungkap melalui hasil jajak pendapat Kompas pada 25-29 Maret 2024 lalu terhadap 839 responden di 38 provinsi. Mayoritas responden (78,6 persen) menganggap bahwa Lebaran diperuntukkan seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang latar belakang agama.
Menariknya, hal tersebut juga diungkapkan oleh responden yang beragama Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Khonghucu, atau penghayat kepercayaan. Jumlah responden dari berbagai latar belakang kepercayaan ini mencapai 157 orang. Nyaris seluruh responden (98,1 persen) yang beragama Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Khonghucu, atau penghayat kepercayaan sepakat mengenai hal ini.
Penerimaan umat agama lain yang begitu luas tersebut menandakan bahwa Idul Fitri memiliki karakter yang inklusif dan terbuka untuk semua kalangan. Alhasil, mereka yang beragama selain Islam pun dapat turut serta merasakan kemeriahan dan semarak perayaan Idul Fitri.
Kualitas inklusif yang terkandung dalam perayaan Idul Fitri di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara yang banyak menggunakan jalur kebudayaan. Sebagaimana pernah diungkapkan Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra, masuknya ajaran Islam ke Nusantara tidak meniadakan tradisi yang hidup di tengah masyarakat, tetapi justru menguatkannya (Kompas, 8/6/2019).
Peleburan ajaran Islam ke dalam sendi-sendi kebudayaan bangsa seperti demikian lantas melahirkan berbagai ragam tradisi Idul Fitri yang sangat khas Indonesia, seperti mudik dan halalbihalal.
Hal ini rupanya juga diamini oleh sebagian responden beragama selain Islam. Tidak kurang dari 41 persen responden kelompok ini melekatkan perayaan Lebaran dengan ekspresi kebudayaan yang dekat bagi semua lapisan masyarakat, yakni kumpul keluarga besar, pulang kampung, dan silaturahmi.
Kedekatan antara Idul Fitri dan umat agama lain semakin kentara ketika mereka tidak hanya menerima hari raya ini, tetapi juga menyukainya. Ini terlihat dari 89,7 persen responden selain Islam yang mengaku memiliki hal-hal yang disukai dari datangnya momen Lebaran.
Kumpul keluarga, silaturahmi, dan kuliner khas Lebaran
Adapun kesukaan responden pemeluk agama di luar Islam terhadap Lebaran tampak terpusat pada tiga jawaban yang banyak diungkapkan responden. Kumpul keluarga besar di kampung halaman menjadi yang paling banyak dipilih, dengan 33,8 persen dari total jawaban. Setelah itu, silaturahmi atau halalbihalal menjadi hal terfavorit berikutnya (21,3 persen). Kesukaan terbesar selanjutnya jatuh pada hidangan spesial khas Idul Fitri, seperti ketupat, opor ayam, atau gulai daging (15,7 persen).
Apabila dijumlah, ketiga hal tersebut telah mengambil porsi 70,9 persen dari total jawaban yang diberikan. Fenomena ini menarik dicermati, karena hal yang sama juga didapati di kalangan umat Islam. Setidaknya 75,4 persen pilihan kesukaan responden pemeluk Islam atas Lebaran tercakup ke dalam tiga hal tersebut. Bahkan, hal yang paling disukai pun juga serupa, yakni berkumpul bersama keluarga besar di daerah asal (40,1 persen).
Kesamaan kesukaan antara pemeluk Islam dengan umat agama lainnya ini mengindikasikan bahwa Idul Fitri di Indonesia telah mendapat pemaknaan yang universal di semua lapisan masyarakat. Keseragaman proporsi kesukaan terhadap nilai kekeluargaan, silaturahmi, dan hidangan kuliner turut menunjukkan, tiga hal itu merupakan alasan utama mengapa semarak perayaan Lebaran dapat menembus sekat-sekat keagamaan.
Keluarga dan silaturahmi telah dipahami secara luas sebagai manifestasi konsep ”fitrah” dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meminjam pemaknaan dari cendekiawan Islam (alm) Nurcholis Madjid alias Cak Nur, Idul Fitri adalah hari raya untuk kembali ke fitrah, yakni kesucian asal ciptaan Allah untuk manusia (Kompas, 24/12/2000).
Dalam khazanah budaya Indonesia, keluarga menjadi salah satu simbol utama fitrah karena dipandang sebagai asal muasal. Menyadur dari apa yang pernah diungkapkan Heddy Shri Ahimsa-Putra, banyak kebudayaan di negeri ini memandang bahwa keluarga adalah akar tradisi, tempat seseorang bisa mulai bertunas, tumbuh, dan berkembang di dunia (Kompas, 8/6/2019).
Baca juga: Dua Realitas dalam Sebaris Makna Idul Fitri
Apabila keluarga diibaratkan sebagai akar, silaturahmi adalah upaya manusia Indonesia untuk merawatnya. Silaturahmi memiliki dua dimensi yang terkandung dalam satu tindakan, yakni dimensi spiritual dan sosial.
Dimensi spiritual hadir ketika dorongan mencapai fitrah membuat seseorang mewawaskan diri atas semua kesalahan dan dosa yang dimilikinya. Penyadaran atas kealpaan tersebut lantas memampukannya untuk mengucapkan sebaris kalimat ”minal aidin walfaizin” terhadap sesamanya. Ketika permohonan maaf lahir dan batin tersebut diterima, maka terciptalah dimensi sosial dari silaturahmi, yakni rekonsiliasi relasi dengan sesama.
Di tengah kemajemukan bangsa ini, silaturahmi lantas kerap menjadi kesempatan emas untuk membuka ruang interaksi di antara lapisan masyarakat. Sebab, dengan silaturahmi, setiap perbedaan berusaha diluruhkan dan semangat persaudaraan direngkuh bersama. Tak pelak, momen silaturahmi dalam Idul Fitri pun kerap dipandang sebagai momentum perekat kohesivitas sosial Indonesia.
Lantas, bagaimana dengan kuliner khas Lebaran? Tentu saja, peran sajian spesial Lebaran tidak bisa dilepaskan dari kegiatan makan bersama yang menyertainya. Bagi banyak kebudayaan di Indonesia, makan bersama merupakan elemen integral yang tak bisa dihilangkan.
Ini terungkap melalui banyaknya istilah daerah yang khusus merujuk pada kegiatan makan bersama, seperti makan bajamba di kebudayaan Minangkabau, bancaan bagi masyarakat Jawa, hingga megibung dalam tradisi Bali.
Baca juga: Ramadhan Kuatkan Kerukunan dan Kebersamaan Masyarakat Indonesia
Bersama dengan silaturahmi, makan bersama dipandang turut berperan membangun rasa solidaritas dan perekat kohesi sosial masyarakat. Dimensi sosial yang melekat dalam makanan dan minuman khas Lebaran inilah yang membuat sepotong ketupat tidak akan terasa istimewa apabila dimakan selain saat silaturahmi Idul Fitri.
Begitu pula sebaliknya, momen bermaaf-maafan dengan sanak kerabat pun akan terasa kurang jika tidak ditutup santapan sepiring ketupat, lengkap dengan lauk opor ayam, semur daging, dan sambal goreng ati.
Beban ekonomi, kemacetan, dan penuhnya tempat wisata
Persamaan persepsi lintas agama terkait perayaan Idul Fitri rupanya juga tecermin melalui pertanyaan terkait hal-hal yang tidak disukai. Baik responden beragama Islam maupun yang beragama selain Islam sepakat bahwa tingginya pengeluaran, kenaikan harga berbagai kebutuhan, dan lonjakan harga tiket angkutan adalah momok Lebaran yang paling menggelisahkan bagi mereka.
Setidaknya ketiga hal tersebut merangkum 57 persen jawaban dari responden beragama selain Islam dan 42,2 persen bagi responden Muslim. Ini menyiratkan, fenomena melonjaknya berbagai barang komoditas pokok tampak telah menjadi sisi negatif Lebaran yang tertanam kuat di benak publik.
Baca juga: Liku-liku Berburu Uang Baru untuk Lebaran
Namun, menariknya, terdapat perbedaan yang cukup signifikan terhadap sejumlah aspek lainnya. Setidaknya satu dari empat (24,4 persen) kegusaran responden umat Islam ditujukan pada kemacetan panjang di jalan raya. Sementara, hanya 2 persen umat agama selain Islam yang menyoroti hal serupa.
Sebaliknya, sebanyak 9,9 persen atau satu dari 10 keluhan responden pemeluk agama selain Islam dialamatkan pada penuhnya tempat wisata pada masa Lebaran. Sementara, jawaban yang sama hanya mengambil porsi 1,9 persen dari total jawaban responden Muslim.
Perbedaan ini seakan mencerminkan divergensi agenda prioritas masyarakat selama musim libur Lebaran. Bisa diasumsikan, kejengahan yang cukup besar di kalangan responden Muslim dalam menghadapi kemacetan diakibatkan fokus pokok umat Islam saat Lebaran adalah pulang kampung.
Adapun memori buruk penuhnya destinasi wisata yang melekat di benak responden beragama selain Islam mengisyaratkan bahwa tujuan utama masyarakat non-Muslim selama libur Lebaran adalah berwisata bersama keluarga.
Baca juga: Wisata Lebaran Dongkrak Ekonomi Daerah
Idul Fitri dengan demikian semakin tampak sebagai sebuah perayaan yang multidimensi nan inklusif. Ragam tradisi perayaan keagamaan yang melebur ke dalam kehidupan budaya masyarakat menjadikannya dapat dirayakan oleh semua kalangan tanpa terkecuali.
Semangat kekeluargaan yang dikemas dalam silaturahmi membuat momen Idul Fitri tidak hanya meneguhkan ikatan kekerabatan, tetapi sekaligus perawat kebinekaan bangsa. (LITBANG KOMPAS)