Istana Sebut Tak Ada yang Salah dengan Revisi UU Kementerian Negara
Istana melihat tidak ada persoalan dengan revisi UU Kementerian Negara, sementara akademisi menilai bukan prioritas.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Istana berpandangan tidak ada yang salah dengan usulan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Melalui revisi tersebut, pemerintah bisa memperluas tugas kabinet demi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Meski demikian, akademisi meminta agar revisi dihentikan karena bukan prioritas.
Badan Legislasi DPR telah menuntaskan draf Rancangan Undang-Undang Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara pada Kamis (17/5/2024). Baleg akan membawa draf RUU tersebut ke hadapan rapat paripurna terdekat untuk dapat disetujui menjadi RUU inisiatif DPR. Namun, hingga Minggu (19/5/2024), belum ada kepastian kapan rapat paripurna digelar. Rapat pimpinan DPR ataupun rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan jadwal paripurna sejauh ini juga belum dilaksanakan.
Padahal, RUU Kementerian Negara baru bisa diusulkan kepada pemerintah jika sudah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna. RUU Kementerian Negara juga baru bisa dibahas setelah Presiden menyetujui usulan DPR yang ditandai dengan penerbitan surat presiden.
Oleh karena itu, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin berharap DPR dapat segera menyelesaikan proses persetujuan revisi UU Kementerian Negara menjadi RUU inisiatif DPR. ”Mudah-mudah secepatnya jadi. Sebagai mantan anggota Badan Legislasi DPR RI, harusnya DPR secepatnya menyetujui, karena itu arah dan haluan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (18/5/2024).
Ngabalin menegaskan, tidak ada yang salah dengan perubahan UU Kementerian Negara ini. Revisi UU Kementerian Negara dinilai untuk kepentingan pelayanan masyarakat ke depan.
”Tidak ada alasan untuk tidak segara dibahas. Itu harus segera karena tentu ke depan tantangannya lebih luas, lebih komprehensif, menurut Presiden Joko Widodo seperti itu,” kata Ngabalin.
Dengan demikian, revisi UU Kementerian Negara dibutuhkan untuk bisa memperluas kerja kabinet sebagai pembantu Presiden. Revisi juga untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas.
”Republik ini dikelilingi 13.000 lebih pulau. Pemerintah dan kabinetnya harus seperti apa yang ada di dalam pikiran presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran agar masyarakat langsung bisa mendapatkan pelayanan dari anggota kabinet dengan kementerian dan lembaganya,” tutur Ngabalin.
Revisi UU Kementerian Negara salah satunya memuat usulan perubahan Pasal 15 yang mengatur pembatasan jumlah kementerian. Jika sebelumnya dalam UU Kementerian Negara diatur jumlah kementerian paling banyak 34, Baleg mengusulkan penentuan jumlah kementerian diserahkan kepada presiden sesuai dengan kebutuhannya. Hanya saja, presiden harus tetap memperhatikan prinsip efektivitas pemerintahan.
Kabinet gemuk
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menengarai, UU Kementerian Negara direvisi untuk mengakomodasi rencana pembentukan kabinet gemuk. Ia menduga penambahan jumlah kementerian dirancang untuk mengakomodasi kepentingan partai-partai politik pendukung Prabowo-Gibran yang ingin menempatkan kader-kadernya di kabinet.
”Jika itu yang terjadi, kabinet tidak akan bekerja efektif. Semangatnya seolah hanya untuk menggarong uang negara demi memuaskan koalisi politiknya,” ujarnya.
Kabinet gemuk, lanjut Herdiansyah, berarti akan gemuk pula anggarannya. Dalam situasi ekonomi global saat ini, anggaran besar dalam kabinet gemuk tentu akan linear dengan potensi korupsi. ”Yang 34 kementerian sekarang saja anggarannya dikorup di mana-mana, apalagi kalau kabinetnya makin gemuk,” tambahnya.
Herdiansyah lantas mengusulkan agar pembahasan revisi UU Kementerian Negara dihentikan. ”Kalau DPR dan pemerintah menggunakan kacamata publik, bukan sekadar hasrat kekuasaan, seharusnya yang dikebut itu undang-undang yang sejak dulu digantung. Sebut saja RUU Perampasan Aset atau RUU Masyarakat Adat. Itu jauh lebih prioritas,” ucapnya.
Terkait gagasan pembentukan 41 kementerian dan lembaga yang disebut usulan yang disampaikan Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa dirinya tak akan memberikan masukan. Presiden Jokowi menyatakan segala urusan terkait pembentukan kabinet mendatang, termasuk usulan penambahan jumlah kementerian, merupakan hak presiden terpilih Prabowo Subianto.
”Kabinet yang akan datang ditanyakan dong kepada presiden terpilih. Tanyakan kepada presiden terpilih. Tanyakan kepada presiden terpilih,” ujar Presiden Jokowi ketika memberikan keterangan pers setelah acara peresmian Indonesia Digital Test House (IDTH) di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi Depok, Jawa Barat, Selasa (7/5/2024).
Presiden Jokowi pun menegaskan tak ada masukan darinya terkait rencana penambahan jumlah kementerian ini. ”Oh, enggak ada, enggak ada (masukan),” katanya.