Pilkada DIY Tanpa Calon Perseorangan, Pengamat: Biaya Politiknya Tinggi
Tak ada satu pun kandidat yang mendaftarkan diri lewat jalur perseorangan di lima pilkada kabupaten/kota di DIY.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·2 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pilkada serentak di lima kabupaten/kota di Provinsi DI Yogyakarta pada November 2024 dipastikan tak diikuti calon perseorangan. Hingga tenggat waktu pendaftaran pukul 23.59 WIB, Minggu (12/5/2024), tak ada satu pun kandidat yang mendaftarkan diri lewat jalur tersebut.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY Ahmad Shidqi melalui siaran persnya, Senin (13/5/2024). Kelima daerah yang menggelar pilkada itu adalah Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul.
“Selama tahapan penyerahan dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan kepada KPU kabupaten/kota se-DIY, sejak 8 Mei 2024 hingga tanggal 12 Mei 2024 pukul 23.59 WIB, tidak terdapat bakal pasangan calon yang melakukan penyerahan dokumen syarat dukungan,” ujar Ahmad.
Dengan kondisi itu, dia menambahkan, pilkada serentak 2024 di wilayah DIY tidak terdapat pasangan calon bupati-wakil bupati serta calon wali kota-wakil wali kota yang berasal dari perseorangan.
Ahmad memaparkan, sebelum itu, KPU kabupaten/kota se-DIY telah melakukan pengumuman penyerahan dukungan pada 5 Mei 2024 melalui media massa dan media publikasi yang dimiliki masing-masing. Setiap KPU kabupaten/kota juga membentuk Help Desk Pencalonan Perseorangan untuk melayani kebutuhan informasi perihal pendaftaran calon perseorangan.
Bakal calon perseorangan harus memenuhi sejumlah syarat, salah satunya adalah jumlah minimal dukungan dari daftar pemilih tetap (DPT) di setiap daerah. Persentase dan jumlahnya pun berbeda-beda di setiap kabupaten/kota.
Ini mungkin menjadi pertimbangan kandidat tak mencalonkan diri melalui jalur tersebut.
Untuk Kota Yogyakarta, persentasenya 8,5 persen dari DPT atau syarat dukungan minimal 27.340 orang. Di Bantul, persentasenya sebesar 7,5 persen dengan dukungan minimal 55.656 orang.
Selanjutnya, di Kulon Progo, syarat persentase sebanyak 8,5 persen atau dukungan minimal 29.329 dan di Gunungkidul mensyaratkan persentase 7,5 persen dengan syarat dukungan minimal 45.987. Terakhir, Sleman dengan syarat persentase 7,5 persen atau dukungan minimal 63.680.
Secara terpisah, dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, mengatakan, desain regulasi saat ini memberikan persyaratan yang tak mudah bagi munculnya calon perseorangan. Pengumpulan syarat dukungan dengan jumlah puluhan ribu itu membutuhkan biaya yang tinggi.
“Ini mungkin menjadi pertimbangan kandidat tak mencalonkan diri melalui jalur tersebut,” ucapnya.
Dia pun melihat kandidat akan lebih berusaha menempuh jalur pencalonan dari partai politik. Dari sisi ini, pembiayaan politik untuk memperoleh tiket pilkada bisa lebih diminimalisasi sehingga biaya politik dapat dioptimalkan pada saat kampanye nanti.
Apalagi, Mada melanjutkan, bagi partai politik, pilkada ini seolah menjadi ajang pertarungan kedua setelah pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden lalu. Parpol yang capaiannya kurang saat pileg lalu akan memaksimalkan kinerjanya dalam pilkada.
“Parpol yang sudah mendapatkan banyak dukungan di pileg pasti juga akan berusaha paling tidak mempertahankan proporsi kemenangannya di tingkat lokal,” kata Mada.
Dia menjelaskan, ketiadaan calon perseorangan dalam pilkada tidak berarti mengurangi kualitas pilkada jika calon itu tidak menawarkan visi-misi atau program yang baru, inovatif, dan kreatif yang berbeda dengan calon parpol. Namun, ini menjadi tidak baik untuk demokrasi tingkat lokal jika syarat berat calon perseorangan itu mencegah munculnya sosok yang berkualitas.