Penyidik Diminta Dalami Peran Kementerian ESDM dalam Kasus Timah
Penyidik Kejaksaan Agung dinilai gesit menetapkan tersangka dari pihak swasta, tetapi membiarkan otoritas terkait.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penyidik memeriksa pejabat pusat dan daerah di bidang energi dan sumber daya mineral dalam kasus dugaan korupsi tambang ilegal di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Penyidik diharapkan memeriksa para pihak sampai tingkat penanggung jawab tertinggi yang memberikan persetujuan terhadap rancangan kerja dan anggaran biaya atau RKAB.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis, Kamis (25/4/2024), menyampaikan, hari ini penyidik memeriksa 12 orang dalam kasus timah. Saksi tersebut berasal dari kalangan pemerintah, badan usaha milik negara, dan swasta.
Dari kalangan pemerintah, penyidik memeriksa SW selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2015-2019; PD selaku Inspektur Tambang Dinas Pertambangan ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2017 sekaligus Sekretaris Tim Evaluator RKAB. Kemudian terdapat DW, IWN, dan HR selaku inspektur tambang. Dari pihak swasta, penyidik memeriksa TS alias YG dan STJ.
Dari kalangan BUMN, penyidik memeriksa RV, MA, NG, NRN, dan AW selaku competent person Indonesia (SPI) PT Timah Tbk. Menurut Keputusan Menteri ESDM tahun 2018, CPI adalah orang yang memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman untuk melakukan pelaporan hasil eksplorasi, estimasi sumber daya, dan estimasi cadangan mineral dan batubara yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi.
Sehari sebelumnya, penyidik memeriksa BE selaku Subkoordinator Pemasaran pada Kementerian ESDM dan dua inspektur tambang, yakni FA dan TM. ”Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan,” ujar Ketut.
Dalam kasus tersebut, penyidik telah menetapkan 15 tersangka yang terkait dengan pidana pokok dan seorang tersangka terkait perintangan penyidikan. Para tersangka tersebut berasal dari kalangan swasta dan bekas direksi PT Timah Tbk.
Hanya operator
Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil berpandangan, 16 tersangka dalam kasus tersebut dinilai baru mewakili entitas bisnis. Mereka dinilai masuk dalam kluster operator, bukan pihak yang mendesain kegiatan pertambangan ilegal tersebut.
Memiliki izin tambang dan izin lingkungan belum tentu bisa menambang karena harus ada RKAB.
Menurut Jamil, agar dugaan keterlibatan otoritas dapat terungkap, penyidik mesti mendalami dokumen RKAB yang diajukan perusahaan tambang kepada pemerintah. Di dalam dokumen itu tercantum jelas perencanaan kegiatan pertambangan selama setahun, semisal lokasi tambang, data tentang deposit mineral, hingga rencana jumlah mineral yang akan ditambang karena setiap jenis mineral diberi kuota. Persetujuan RKAB melibatkan pemerintah pusat, yakni Kementerian ESDM.
”Memiliki izin tambang dan izin lingkungan belum tentu bisa menambang karena harus ada RKAB. Maka, seluruh pihak yang terlibat dalam proses penyusunan dan persetujuan RKAB PT Timah mesti diperiksa,” terang Jamil.
Menurut Jamil, Jatam pernah pernah menguji dokumen RKAB ke Komisi Informasi dan diputus bahwa dokumen itu merupakan dokumen terbuka. Namun, Kementerian ESDM membuat peraturan yang menyatakan dokumen RKAB sebagai dokumen tertutup.
Terkait kasus ini, Jamil membandingkan kesigapan penyidik dalam menetapkan para tersangka dari pihak swasta dan BUMN, tetapi terkesan berlarut-larut dalam memeriksa pihak pemerintah. Padahal, penentu kegiatan pertambangan adalah pejabat di pemerintahan, bukan inspektur tambang.
”Masak penyidik tidak menemukan dokumen penting, seperti RKAB. Siapa yang membuat mereka (para tersangka) tidak tersentuh selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Terjadi pembiaran
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpandangan, pertambangan ilegal yang terjadi selama bertahun-tahun itu bisa jadi merupakan pembiaran. Namun, penyidik seharusnya tetap mengejar otoritas terkait yang membiarkan masalah tersebut terjadi selama bertahun-tahun.
Wajah Pulau Bangka itu bopeng-bopeng karena bekas galian yang tidak ditutup. Itu keterlaluan. Kalau pergi ke sana pakai pesawat terbang, pasti bisa melihat dari atas,” ujar Boyamin.
Menurut Boyamin, penyidik Kejagung mestinya berani mengejar pejabat yang terlibat sebagaimana terjadi dalam kasus korupsi pertambangan biji nikel pada IUP PT Antam Tbk di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara. Pada kasus itu, penyidik menetapkan bekas Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaludin sebagai tersangka. Pengadilan menjatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara kepadanya.
Tidak hanya Kementerian ESDM, kata Boyamin, penyidik juga mesti meminta keterangan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebab, kementerian tersebut memiliki tugas untuk mengawasi dampak kegiatan pertambangan.