Menuju Politik Luar Negeri Fokus
Kunjungan Prabowo Subianto ke China dan Jepang tampaknya menegaskan arah politik luar negeri Indonesia mendatang.
Sebagai middle power dan negara terbesar di kawasan, yang memiliki presiden baru, kebijakan politik luar negeri Indonesia mendatang ditunggu dengan harap-harap cemas oleh banyak negara.
Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dan ASEAN yang heboh dan di dalam negeri dianggap sebagai keberhasilan ternyata tak meninggalkan jejak di tataran global. Rasa puas diri itu berlebihan mengingat keketuaan di dua forum besar tersebut sekadar rutinitas dan rotasi, bukan karena pemilihan yang ketat.
Oleh karena itu, kita tersentak karena setelah ”pesta usai”, Uni Eropa justru membawa Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena program hilirisasi tambang nikelnya.
Baca juga: Arah Politik Luar Negeri 2024-2034
Perubahan politik luar negeri
Apakah Prabowo Subianto akan membawa perubahan politik luar negeri? Selama ini ada salah kaprah yang perlu diluruskan. Politik luar negeri dirumuskan bukan oleh Kementerian Luar Negeri, melainkan oleh berbagai pemangku kepentingan terkait, yang dikoordinasi oleh Kementerian Luar Negeri, tetapi keputusan akhir di tangan Presiden. Dan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Kementerian Luar Negeri akan melaksanakannya.
Karena politik selalu mengalami penyesuaian dan modifikasi, umumnya politik luar negeri juga berubah karena, pertama, pergantian rezim dan sesuai dengan platform partai yang berkuasa. Kedua, transformasi dalam mengadaptasi dinamika geopolitik global.
Namun, kategorisasi perubahan politik luar negeri yang paling berpengaruh hingga saat ini diusulkan oleh Hermann CF (1990) melalui empat gradasi perubahan.
Pertama, perubahan penyesuaian (adjustment change): perubahan pada upaya, yang tak mengubah tujuan atau metode suatu kebijakan. Kedua, perubahan program (program change): mengacu ke perubahan metode, tapi bukan tujuan.
Ketiga, perubahan tujuan (goal change): perubahan pada tujuan (purpose). Keempat, dan paling mendasar, terkait pengalihan (redirection) orientasi aktor terhadap kejadian-kejadian dunia (world affairs), yang dapat melibatkan perubahan simultan dalam banyak kebijakan.
Pengaruh domestik, kawasan, dan global
Di tataran domestik, pada akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo masih menyisakan sejumlah pending matters, antara lain kelanjutan pembangunan ibu kota baru, proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya, transisi energi, dan hilirisasi tambang mineral.
Sementara sebagai menteri pertahanan kabinet Jokowi, Prabowo masih meninggalkan kontroversi karena ”kalap” belanja alutsista, termasuk jet tempur Mirage 2000-5, F-15EX dan Dassault Rafale, pesawat multiperan Airbus A400M, helikopter H225M, kapal fregat kelas FREMM dan Maestrale, kapal selam Scorpene dan Midget, kendaraan taktis Maung, dan sejumlah persenjataan lain, yang nilainya lebih dari 34 miliar dollar AS (Tempo, 24/8/2023, dan CNBC, 9/1/2024).
Prabowo bahkan langsung ”tancap gas” ke Beijing dan Tokyo, yang oleh para petinggi partai politik dan banyak pihak dinilai ”tidak elok” (Kompas, 4/4/2024). Selain belum pernah ada presedennya dan hasil pemilu masih dipersengketakan saat itu karena proses hukum masih berjalan, juga karena saat ini Prabowo masih de facto seorang pembantu Presiden Jokowi. Kunjungan yang dikatakan sebagai upaya untuk menjaga, memperdalam, dan mengembangkan hubungan bilateral jelas menimbulkan keingintahuan atau kecurigaan negara kawasan dan Barat.
Di tingkat regional, sebagai ”sesepuh” ASEAN, Indonesia dihadapkan pada masalah Rohingya dan isolasi Myanmar meskipun terus mengumandangkan inklusivisme. Selain itu, sengketa bilateral antarnegara anggota, situasi Laut China Selatan (LCS) yang di-”obok-obok” oleh rivalitas Beijing dan Washington di Paracels dan Spratly, jelas berdampak pada organisasi kawasan ini. Meskipun bukan penggugat (claimant) teritori, gesekan dengan China di ZEE Natuna Utara memperlihatkan bahwa ASEAN Way sudah tidak efektif dan melemah.
Dalam kaitan saat ini, politik luar negeri Indonesia harus kembali mengutamakan kepentingan nasional yang abadi, karena tidak ada kawan atau lawan yang abadi, apalagi dengan pengalaman Timor Timur dulu.
Sejauh ini ASEAN telah memiliki kesepakatan untuk menata kawasan melalui ZOPFAN, TAC, Bangkok Treaty, dan Code of Conduct LCS yang masih merupakan pekerjaan rumah karena ketidakjelasan implementasinya. ASEAN agaknya ”kedodoran” beradaptasi dengan dinamika geopolitik kawasan yang cepat. Filipina mengambil jalan pintas dengan merangkul kembali AS, Vietnam tampaknya sudah saling lirik dengan bekas seterunya, dan insiden kapal-kapal di LCS saja beberapa kali hampir menimbulkan kontak senjata.
Mirisnya, meskipun ASEAN tidak akan menjadi pakta militer, Indonesia mengajukan diri menyiapkan perspektif pertahanan dalam ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP, Kementerian Pertahanan, 23 Agustus 2021), padahal Indian Ocean Rim Association (IORA) Outlook on Indo-Pacific negara-negara Samudra Hindia memusatkan perhatian pada kerja sama yang realistis.
Kawasan yang sarat dengan potensi konflik (India-Pakistan atau Iran-Pakistan) justru fokus pada kerja sama pembangunan sektor maritim, terutama dalam kaitan keamanan dan keselamatan navigasi. Sebenarnya pada 1990-an, Indonesia dan Kanada pernah menggagas seminar Managing Potential Conflict in the South China Sea dengan mengeksplorasi kerja sama penelitian dan pengembangan teknologi kelautan.
Di tataran global, di tengah meredupnya APEC, Indonesia dihadapkan pada pilihan antara menjadi anggota IPEF atau RCEP dan BRICS atau OECD. Indonesia juga berkeinginan turut serta menyelesaikan perang Israel-Hamas di Gaza dan perang Rusia-Ukraina, sesuai amanat konstitusi. Namun, diakui atau tidak, Indonesia tak cukup punya leverage (Wirengjurit, Kompas, 26/3/2024).
”Indonesia First”
Meskipun Rusia dan AS telah resmi mengakui terpilihnya Prabowo, kunjungan ke China dan Jepang tampaknya menegaskan arah politik luar negeri Indonesia mendatang. Mengadaptasi gagasan Mohammad Hatta (1948) tentang kebijakan ”mendayung di antara dua karang”, pada masa Perang Dingin Baru saat ini Indonesia harus mendayung perahunya di antara tiga karang (Wirengjurit, Kompas, 18/7/2020).
Sesuai jadwal, selama lima tahun ke depan Indonesia tidak akan disibukkan dengan perhelatan besar (KTT) APEC, G20, atau ASEAN. Memang sudah waktunya Indonesia melaksanakan politik luar negeri yang membumi dan membawa manfaat langsung dan nyata bagi rakyat, yaitu kebijakan yang lebih memfokuskan pada kebijakan bilateral dan kawasan terdekat. Seperti Donald Trump dengan ”America First”-nya, Prabowo dapat menerapkan politik luar negeri ”Indonesia First”.
Pertama, bidang perdagangan dan investasi, kepada China, misalnya, perlu ditegaskan perlunya solusi ”sama-sama senang” (win-win solution) dalam isu eksplorasi migas di ZEE Natuna Utara, dengan menggarapnya bersama. China perlu diminta untuk mengendalikan agresivitasnya di tambang mineral dan membatasi tenaga kerjanya dengan lebih memberdayakan tenaga kerja lokal.
Kepada Jepang, perlu ditegaskan untuk mengimplementasikan transfer teknologi yang tertunda-tunda sejak Toyota datang pada 1974 karena hingga kini Indonesia tidak lebih sebagai perakitnya (assembler).
Meskipun Rusia dan AS telah resmi mengakui terpilihnya Prabowo, kunjungan ke China dan Jepang tampaknya menegaskan arah politik luar negeri Indonesia mendatang.
Proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya mungkin dapat diupayakan untuk menjadi proyek kerja sama tiga negara. Hal ini sudah ada presedennya, karena pada kunjungan kenegaraan pertama pemimpin Jepang ke China dalam 11 tahun, PM Shinzo Abe dan Presiden Xi Jinping mengumumkan 50 proyek infrastruktur bersama. Kerja sama investasi infrastruktur itu dalam kerangka Inisiatif Sabuk dan Jalan, tetapi skalanya bahkan lebih besar daripada yang diperkirakan sebelum kedatangan Abe di Beijing (Brewminate, 31/10/2018).
Kedua, di tingkat kawasan, Indonesia perlu mengembalikan marwah ASEAN dan kehormatan (dignity) Myanmar dengan merangkulnya kembali (inclusivity) untuk menyelesaikan masalah Rohingya, seperti dulu Indonesia berhasil di Kamboja (perang sipil) dan Filipina (Mindanao/MNLF). Di lain pihak, selain fokus pada ZEE Natuna Utara, mungkin ”cawe-cawe” urusan LCS perlu dikurangi.
Ketiga, perkembangan di belahan dunia Selatan justru perlu menjadi perhatian serius. Sebagai ”sheriff” AS di Pasifik, belanja militer Australia pada 2023 telah menembus 50 miliar dollar AS dan dalam empat tahun mendatang akan menjadi 223 miliar dollar AS (ADM, 12/6/2023). Di bawah kemitraan AUKUS (2021), AS akan menjual kepada Australia tiga hingga lima kapal selam serang kelas Virginia mulai awal 2030-an. Australia dan Inggris juga membangun kapal selam nuklir kelas SSN-AUKUS yang akan jatuh tempo satu dekade mendatang (ADM, 12/3/2024).
Sementara untuk mengantisipasi potensi serangan musuh satu-satunya dari Utara (baca: Indonesia), sejak 2021 AS telah menempatkan 2.000-2.500 personel marinirnya dengan rotasi setiap enam bulan di Darwin (Kedutaan Besar AS, 28/3/2024) yang berjarak sekitar 800 kilometer dari Indonesia.
Tergantung aktor
Dalam kaitan saat ini, politik luar negeri Indonesia harus kembali mengutamakan kepentingan nasional yang abadi, karena tidak ada kawan atau lawan yang abadi, apalagi dengan pengalaman Timor Timur dulu. Artinya, kepentingan itu harus berdasarkan pada prinsip yang berlaku di banyak negara, yaitu trust no one.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan seperti itu harus berlandaskan pada adagium Harold Lasswell bahwa politik adalah who gets what, when and how.
Berdasarkan kategori Hermann, dengan langkah-langkah di atas dan mengingat dinamika geopolitik kawasan dan global, tampaknya peran Prabowo akan dominan dalam melakukan redirection politik luar negerinya. Namun, Prabowo dikenal sebagai sosok yang kontroversial, artinya perubahan bisa terjadi kapan saja.
Dian Wirengjurit, Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional