Desa Budaya, (Bukan Semata) Desa Wisata
Desa bukan hanya obyek wisata, tetapi subyek pemilik pengetahuan, adat-tradisi, dan budaya yang hidup dan berkelanjutan.
Opini Restu Gunawan (Kompas, 12/4/2024) mengingatkan kita pada potensi budaya desa yang perlu dimanfaatkan untuk menyelesaikan problem-problem komunal.
Sumber daya budaya yang ada di desa, seperti sejarah desa, upacara adat, kuliner, sumber pangan lokal, pengetahuan dan teknologi tradisional, dan lainnya yang berkaitan dengan kebudayaan, bisa dikembangkan dan dimanfaatkan secara lebih terencana dan berkelanjutan. Nanti hal ini akan menjadi jati diri sekaligus sumber perekonomian yang bisa membuatnya berdaulat, mandiri, dan maju tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya yang ada.
Namun, harus diakui, dalam perwujudannya, konsep tersebut dimaknai dalam wujud desa wisata yang muncul di mana-mana. Budaya dipahami sebagai kesenian dan atau pertunjukan keindahan semata.
Hal ini terlihat jelas dalam momen mudik Lebaran. Masyarakat dari kota yang kembali ke desa untuk bertemu sanak keluarga, menghabiskan waktu bersama, mencari hiburan atau berwisata ke tempat-tempat indah yang banyak terdapat di desa.
Baca juga: Geliat Desa Wisata Perkuat Pembangunan Pariwisata
Maka muncul desa wisata, yang dalam opini Trisno Yulianto (Kompas, 10/4/2024) disebutkan berjumlah 4.773 desa pada 2023 sesuai catatan Jaringan Desa Wisata (Jadesta) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Dari jumlah itu, 30 persen disebut merupakan desa wisata kategori maju yang memiliki infrastruktur wisata yang layak. Desa-desa itu juga didukung investasi yang membantu perkembangan destinasi wisata dan fasilitas pendukungnya, seperti home stay, stand kuliner/suvenir, dan penggiatan atraksi seni-budaya.
Dengannya, suatu daerah seakan sudah sah menjadi desa wisata. Menurut penulis, pemaknaan tersebut sepertinya masih terbatas pada sifat permukaan, tidak mendasar apalagi menyentuh esensi nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kehidupan di desa.
Karena, mengutip Budianta (2020), hal itu justru menjadi bentuk “peradaban baru” yang urban sentris dengan pola pembangunanisme, di mana desa dikembangkan dengan perspektif urban, yaitu untuk mendatangkan devisa sebanyak mungkin dari desa.
Dari jumlah itu, 30 persennya disebut merupakan desa wisata kategori maju yang memiliki infrastruktur wisata yang layak.
Untuk menciptakan ”desa wisata” yang mendatangkan turis lokal dan mancanegara, sebagian lahan produktif dialihkan untuk membuat tempat peristirahatan, acara seni budaya disiapkan untuk menjadi hiburan, dan para petani berubah profesi menjadi pelayan jasa.
Hal ini tidak membangun dasar-dasar masyarakat sipil desa yang sehat, kritis, dan produktif, tetapi secara laten justru menyuburkan masyarakat desa dengan teknologi baru menjadi gaya hidup dan menumbuhkan konsumerisme. Kehidupan yang dibangun bukan oleh nilai-nilai keutamaan desa, tetapi dengan primordialisme sebagai bagian dari logika pembangunan modern (Garin Nugroho, 2020).
Akibatnya nilai etis komunal yang ada ditafsir semena-mena demi kepentingan sektoral, produk estetis dikomodifikasi dalam konsep pariwisata yang banal dan produk-produk bendawi dikuasai hasrat para makelar kebudayaan yang mencari keuntungan pragmatis.
Memaknai desa
Desa bukan hanya sebagai obyek wisata semata. Desa adalah bentang alam dengan lanskap natural dan potensi kultural yang memiliki daya dan nilai presentasi dan representasi yang kontekstual. Maka hal mendasar yang bisa kita lakukan adalah memelihara yang sudah terberi oleh alam, adat istiadat dan tradisi serta memaknainya dengan menggali, mengolah, dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi terkini.
Desa adalah sebuah lokus yang tidak hanya menjadi konsep kekuatan ekonomi (pertanian, peternakan, perkebunan), berbagai sumber daya seperti kemampuan lokal (sudut pandang, abstraksi, nilai-nilai khas), juga obyek sejarah, warisan seni, ingatan kolektif dan wujud lainnya sebagai seperangkat pengetahuan yang bisa menjadi inspirasi bagi orang di luar desanya (Budianta, 2021).
Desa harusnya juga bisa menjadi learning space bagi siapa pun yang datang, khususnya terkait kearifan lokal, aktivitas masyarakat desa dan lingkungan alam. Spot-spot interaktif menjadi penting untuk memberikan pengalaman (experience) kehidupan selama mereka berada di desa.
Desa adalah bentang alam dengan lanskap natural dan potensi kultural yang memiliki daya dan nilai presentasi dan representasi yang kontekstual.
Dengannya, desa menjadi daya tarik sosio-kultural dan peluang ekonomi yang memberdayakan sekaligus memberikan harga diri bagi warganya untuk mengembangkan kapasitas, bakat, dan potensinya. Warga desa juga jadi tidak sekadar membuat “tontonan” atau menjadi penyedia jasa bagi turis yang datang, tetapi menjadi subyek pemilik pengetahuan, adat dan tradisi, serta budaya yang hidup dan berkelanjutan.
Pada saat yang sama, hal ini mengajarkan keberakaran adalah hal penting bagi pembentukan identitas personal dan komunal. Keberakaran menunjukkan basis logika sosial dan pondasi kultural kita sebagai manusia yang menyejarah.
Prinsip ini penting ditekankan agar desa tidak lagi menjadi wahana obyektifikasi logika komodifikasi kontemporer semata. Namun, desa patut dimaknai sebagai sebuah usaha mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat dapat dikembangkan dalam sebuah konsep yang tidak saja partisipatoris tetapi juga kontekstual.
Sebuah formasi sosial yang membukakan jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi identitas dan potensi sosio-ekonomi-kultural yang potensial.
Kebijakan kebudayaan
Terlebih Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2023 telah menghasilkan rekomendasi kebijakan kebudayaan masa depan, di antaranya menegaskan masyarakat adat dan lokal lainnya (yang banyak terdapat di desa) adalah subyek yang berdaulat atas wilayah, sumber daya alam, dan sumber pengetahuan budaya, serta merupakan pengusung keanekaragaman budaya dan hayati yang bisa menjadi modal pembangunan. Seluruh elemen bangunan logika tersebut membuktikan bahwa kebudayaan desa menjadi elemen penting kebudayaan nasional.
Dengannya, kita meletakkan paradigma pembangunan dimulai dari desa sebagai unit kebudayaan terkecil. Desa jadi medium transformasi nilai-nilai budaya dan penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat untuk menjawab tantangan yang terus berubah. Desa menjadi agenda penting strategi kebudayaan dan pembangunan (manusia) Indonesia.
Baca juga: Desa Garda Terdepan Pemajuan Kebudayaan
Pemahaman seperti ini penting dalam memaknai desa dengan segala potensinya yang membuatnya menjadi semacam kembang yang diperebutkan. Pembahasan tentangnya menjadi pembicaraan banyak pihak, sekian lama dengan bermacam maksud dan tujuannya.
Maka perlu ditunggu sikap politik berwujud kebijakan yang berdasar pada perspektif kebudayaan pemerintahan presiden terpilih nanti. Janji dan komitmen politiknya sebagai pemegang kebijakan tertinggi negara, khususnya dalam bidang kebudayaan, perlu ditagih pertanggungjawabannya dalam membangun kebudayaan desa, yang berarti juga membangun Indonesia.
Oti M Lestari, Peminat Kajian Sosial Budaya; Pegiat Pemberdayaan Masyarakat di Kelompok Tumbuh Sinema Rakyat Jakarta