Industri ”fashion” Muslim bisa jadi pengerek kinerja ”halal value chain”. Perlu ada dukungan kebijakan.
Oleh
ABRAHAM WAHYU NUGROHO
·5 menit baca
Apakah Anda membeli baju untuk Lebaran kemarin? Apabila iya, dapat dikatakan Anda punya andil menjadi bagian ekosistemhalal value chain (HVC), di mana fashion Muslim menjadi salah satu sektor unggulannya.
Halal tidak hanya soal makanan, syariah tidak hanya terkait perbankan. Pemangku kebijakan sejak awal 2020-an merumuskan HVC sebagai upaya untuk mendorong penetrasi ekonomi keuangan syariah di Indonesia. Momentum hari besar keagamaan nasional (HKBN) Lebaran ini, misalnya, fashion Muslim diramalkan mampu menjadi pengerek kinerja HVC, di mana belakangan ini lesu.
Bersama dengan parawisata ramah Muslim, pertanian, makanan, dan minuman halal, sektor HVC tahun lalu tumbuh 3,93 persen year on year (yoy), di mana sedikit tertahan dibandingkan tahun sebelumnya (5,53 persen yoy).
Berbeda dengan komposisi pariwisata ramah Muslim yang cenderung naik akibat pelonggaran aktivitas pascapandemi, fashion Muslim menunjukkan tren yang menurun sejak 2022 hingga triwulan III-2023. Sektor fashion Muslim sepanjang tahun lalu terkontraksi sebesar minus 1,69 persen yoy, kontras dengan pencapaian tahun 2022 yang mampu tumbuh 9,34 persen yoy.
Penyebabnya seperti melemahnya permintaan dari negara mitra dagang akibat meningkatnya ketegangan, ketidakpastian global, sampai dengan fragmentasi geopolitik. Hal serupa ditunjukkan dari transaksi fashion Muslim pada lokapasar domestik. Sepanjang 2023, nilai perdagangannya dinilai kurang kuat untuk pasar Indonesia.
Tahun 2022 merupakan puncak transaksi fashion Muslim dengan nilai transaksi sekitar Rp 10 triliun, nilai ini semakin menyusut hingga 2023 yang hanya sekitar Rp 2 triliun. Apabila permintaan dari luar masih belum kuat, konsumsi domestik pada momentum Lebaran diharapkan mampu memperbaiki salah satu sektor unggulan HVC ini.
Keyakinan tersebut beralasan karena merujuk data dari Bank Indonesia, dari sisi permintaan, bahwa konsumen dalam negeri yakin ekonomi akan terus kuat, baik saat ini maupun selama enam bulan ke depan. Februari lalu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tetap berada dalam zona optimistis (lebih dari 100), sebesar 123,1 walaupun sebenarnya agak tertahan dibandingkan Januari sebesar 125.
Dari salah satu komponen pembentuknya, yakni pembelian barang tahan lama (perabot, fashion, dan sebagainya), konsumen tetap optimistis sebesar 112,1 naik dibandingkan bulan lalu sebesar 110,6. Hal ini setidaknya dapat kita jadikan premis bahwa konsumsi domestik, terlebih saat HBKN akan menguat.
Tahun 2022 merupakan puncak transaksi fashion Muslim dengan nilai transaksi sekitar Rp 10 triliun.
Pemangku kebijakan sepatutnya memberikan perhatian pada HVC ini mengingat seluruh sektor unggulan HVC ternyata memberikan andil pada perekonomian nasional sebesar 23 persen. Angka ini bertumbuh dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 21,9 persen.
Angka pertumbuhan ini diartikan bahwa ekonomi keuangan syariah dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru sekaligus dapat menjadi tumpuan percepatan pertumbuhan di saat komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) lainnya dalam kondisi yang tertahan.
”Fashion” Muslim naik kelas
Siapa sangka, pengembangan fashion Muslim ternyata memiliki korelasi terhadap mandat yang diberikan kepada BI, yaitu pengendalian inflasi dan stabilitas sistem keuangan. Dari sini, dirancanglah suatu ekosistem dari sektor hulu sampai dengan hilir diupayakan memiliki impact terhadap pertumbuhan dan ketahanan perekonomian, mulai dari penyediaan bahan baku bersumber lokal, kualitas dan kurasi produksi dengan didukung sertifikasi desainer, akses pasar lokal dan luar, sampai dengan intermediasi sumber pendanaan.
Pembenahan hulu dilakukan melalui pemetaan potensi lokal produsen teksil yang mampu menghasilkan barang hampir sama dengan yang dihasilkan China, India, ataupun Turki (upaya substitusi impor). Untuk peningkatan kualitas produk jadi, seleksi, kurasi, sampai dengan pendampingan, digandeng asosiasi Industri Kreatif Syariah (Ikra).
Selama 2023, dalam kemasan yang di-branding Indonesia International Modest Fashion Festival, terobosan ini mampu mendorong fashion Muslim ke dalam 16 pergelaran pameran busana di seluruh dunia. Pemilihan produk kategori high-end dan premium yang bersumber dari wastra Indonesia menjadi modal kepercayaan bahwa fashion Muslim Indonesia bakal menjadi rujukan dunia.
Intermediasi sumber pendanaan terus didorong agar industri fashion Muslim berkembang secara sustained, salah satunya dengan BI membuat kebijakan yang pro-ekonomi keuangan syariah. Sebagai informasi saja, pembiayaan syariah melanjutkan pertumbuhan yang tinggi sebesar 15,89 persen (yoy) pada Februari 2024, lebih besar dibandingkan pertumbuhan kredit secara umum yang sebesar 11,28 persen (yoy).
Dari sisi sektor HVC, pembiayaan pada fashion Muslim tumbuh baik walaupun tidak sekencang sektor lainnya (pariwisata, makanan, dan pertanian halal). Begitu juga dengan tingkat kesehatan pembiayaan syariah atau non-performing financing (NPF), di mana sektor fashion Muslim masih di luar angka aman (threshold 5 persen) akibat lemahnya permintaan domestik dan global.
Untuk mengatasi hal tersebut, terutamanya bagi sektor UMKM fashion Muslim, BI mengeluarkan penyempurnaan kebijakan rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM) bagi perbankan syariah, unit usaha syariah, dan konvensional. Tujuannya satu, yakni mendorong pembiayaan atau kredit perbankan bagi sektor ini, selain pula mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Realisasi RPIM 2023 sebesar 33,55 persen, meningkat dibandingkan dengan 2022 sebesar 32,74 persen. Semakin tinggi angka rasionya, semakin tecermin akan keseriusan industri perbankan dalam penyaluran pembiayaan bagi UMKM.
Selain kebijakan RPIM, perbankan yang dinilai berperan aktif menyalurkan pembiayaan atau kredit kepada sektor ber-multipler effect ataupun UMKM turut memperoleh insentif melalui skema kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM). Data per Desember 2023 menyebut, realisasi KLM telah sebesar Rp 163 triliun, meningkat dibandingkan dengan Oktober 2023 sebesar Rp 137 triliun.
Menjadi ironis apabila kebutuhan dasar peribadahan, seperti mukena, kain ihram, sajadah, hingga tasbih masih juga dipasok dari China dan negara OKI lainnya.
Nilai ini tentu saja dapat menambah likuiditas perbankan melalui pelonggaran kewajiban giro wajib minimum (GWM) di BI. Diharapkan, bentuk kelonggaran ini menjadi tambahan likuiditas yang nantinya akan disalurkan perbankan kembali dalam bentuk kredit atau pembiayaan.
Industri fashion Muslim domestik sepatutnya menjadi raja di negeri sendiri. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar, pemenuhan fashion Muslim-nya pun selayaknya hasil produksi dalam negeri.
Menjadi ironis apabila kebutuhan dasar peribadahan, seperti mukena, kain ihram, sajadah, hingga tasbih, masih juga dipasok dari China dan negara OKI lainnya. Perlu dukungan kebijakan dan tindakan nyata lainnya lintas sektoral untuk membenahi hulu dan hilir industri fashion Muslim dalam negeri agar, setidaknya, mengurangi ketergantungan impor.
Wahyu Nugroho, Analis Departemen Komunikasi Bank Indonesia