Kita menyaksikan kebangkitan semangat keberagamaan di ruang publik. Di lain sisi korupsi, kriminalitas kian mencemaskan.
Oleh
IDI SUBANDY IBRAHIM
·4 menit baca
Ramadhan, bulan kesembilan dalam kalender Islam, memiliki tempat tersendiri di hati umat Islam. Bulan puasa tahun ini menjadi pengalaman religio-kultural yang memunculkan kegembiraan sekaligus kepiluan.
Kegembiraan, karena puasa membuka kembali kenangan bahagia masa kecil, sukacita saat berbuka bersama dan kerinduan mudik massal tahunan. Kepiluan, karena bahkan sebelum puasa, harga kebutuhan pokok mulai naik, jauh sebelum tunjangan hari raya (THR) dalam genggaman! Rakyat bawah yang tak mengenal THR menyambut puasa dengan kepiluan karena pukulan harga ini.
Ramadhan 2024/1445 Hijriah hadir di tengah harapan pasca-pemilu dan berbagai tekanan krisis global, seperti ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, bencana alam, perang, dan pengungsian.
Dalam wacana politik, kata radikal telah lama bercitra negatif, seperti kekerasan atau terorisme. Padahal, radikal berarti akar atau dasar fundamental dari sesuatu. Radikalisasi pesan puasa bermakna ibadah di bulan suci ini adalah media penanaman kesadaran-tandingan atas krisis tatanan nilai dalam kehidupan.
Sementara itu, kesadaran religius bersama yang ingin ditanamkan selama Ramadhan sering berbaur dengan aneka bujuk rayu konsumerisme. Pesan radikal puasa membuka relung kesadaran generasi kini untuk melakukan kritik diri dan kritik nilai budaya masyarakat.
Sensibilitas budaya generasi kontemporer terbentuk di tengah arus deras globalisasi kapital dan budaya global. Arus kapital dan komoditas global membuka peluang dan persaingan terkadang brutal serta perburuan gaya hidup. Arus komunikasi global mendorong keterbukaan sekaligus konflik nilai dan pandangan dunia. Kedua arus besar tersebut kian digdaya memengaruhi dan mengubah kesadaran dan gaya hidup masyarakat.
Secara umum, kita mencermati praktik akumulasi kapital memusatkan gerak ekonomi pada kemajuan fisik, di satu pihak, dan menyisakan ekses seperti kesenjangan dan peminggiran, di lain pihak. Sektor-sektor ekonomi konsumtif bertumbuh, sayangnya tempat-tempat kumuh, pengangguran, kemiskinan, dan stunting belum berubah signifikan. Kontradiksi ini memperlihatkan rapuhnya fondasi pemerataan dan keadilan.
Secara khusus, kita menyaksikan kebangkitan semangat keberagamaan di ruang publik, di satu pihak, tetapi di lain pihak, angka korupsi, kriminalitas, kekerasan, sadisme, pembunuhan, perundungan, dan bunuh diri kian mencemaskan. Ini menandakan rapuhnya fondasi nilai, spiritual, dan norma dalam kehidupan.
Sementara kondisi budaya zaman kini memperlihatkan bercampurnya kesadaran agama dan budaya populer. Budaya populer seperti perpustakaan pilihan tempat rujukan bagi pemerkayaan potensi diri sekaligus pelecut hasrat konsumsi masyarakat.
Terpaku di depan gawai, generasi kini menata waktu luang dan bertualang mencari inspirasi dan makna dari figur dan ikon budaya populer di dunia yang terhubung secara digital. Dalam peradaban digital, algoritma nilai kuantitas viral menyingkirkan nilai kualitas moral.
Di era generasi militan digital, ketika sebagian bebas merekayasa dan menyebarkan wacana hujatan, intoleransi, dan hoaks, kita menghadapi tantangan membangun narasi perdamaian, toleransi, dan kelapangan hati.
Di tengah gencarnya serangan budaya konsumerisme dengan janji aneka pemuasan dan kenikmatan, kita menghadapi tantangan membudayakan pola hidup efisien dan menahan diri, mengingat keterbatasan sumber daya alam.
Puasa hadir memperkuat spiritualitas yang memberdayakan kemanusiaan dan investasi kesadaran nurani seperti rasa empati dan setia kawan kepada masyarakat kurang beruntung. Di tengah banyak penderitaan, gaya hidup merayakan kenikmatan berlebihan melawan hakikat puasa yang menanamkan kepedulian, persaudaraan, dan solidaritas.
Setiap Ramadhan, umat Islam diingatkan akan kewajiban dan tujuan moral dan spiritual puasa. Puasa adalah latihan jiwa dan raga untuk membawa individu kepada kebajikan lebih tinggi guna meraih tangga ketakwaan (Q.S. 2: 183). Dengan keikhlasan, mengingat Allah, doa, zakat, bertobat, budi pekerti luhur, puasa menjadi jalan reformasi sosial dengan lebih dulu mereformasi diri.
Puasa mendorong kedalaman ketakwaan pribadi agar melahirkan kemaslahatan bagi kehidupan bersama dan rakhmat bagi semua (alam, tumbuhan, dan hewan).
Karena itu, momen Ramadhan membuka kesempatan kalangan beruntung, tak jarang juga dari non-Muslim, untuk berbagi atau sedekah kepada anak yatim/piatu dan orang miskin. Kebahagiaan bisa membuat bahagia orang-orang kurang beruntung merupakan kepuasan batin yang tak terlukiskan. Sebagai pengalaman bermakna, ia membuat individu memandang hidup lebih positif. Empati kemanusiaan ini menggambarkan welas asih melampaui batas golongan, agama, dan keyakinan.
Sebagai media introspeksi diri, puasa menjadi momen kontemplasi dan kritik diri atas defisit amal kebaikan dan kejujuran. Kemampuan introspeksi memerlukan rasa keadilan. Hilangnya rasa keadilan seperti nafsu memusatkan kekuasaan dan kekayaan pada kelompok terbatas merupakan kendala demokratisasi di bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Sebagai ibadah sarat makna, puasa bukan sekadar menahan makan, minum, dan hawa nafsu di siang hari. Ia media pengendalian diri atas kerapuhan watak manusia yang sering dikuasai oleh nafsunya. Tanpa unsur pengendalian diri dan asketisisme, mungkin tidak akan ada agama, karena itu tidak akan ada peradaban manusia.
Radikalisasi kesadaran yang ditempa pada bulan kemuliaan turunnya Al Quran ini sejatinya membebaskan belenggu ego pada pribadi-pribadi. Kemudian membawanya kembali kepada fitrah (diri primordial) yang puncaknya silaturahmi (penyambungan rasa cinta kasih sesama manusia) di hari raya nan fitri, Idul Fitri.
Mungkin itulah sebabnya, puasa sering diibaratkan seperti parfum spiritual bagi jiwa manusia yang wanginya bisa dirasakan lama, bahkan setelah periode puasa berakhir. Sebagai hasilnya sebulan berpuasa bisa mewarnai tindakan dan nilai-nilai kebajikan intrinsik untuk mendorong masyarakat berkeadaban dan budaya berkelanjutan.
Idi Subandy Ibrahim adalah Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar LB di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang; dan Pengajar LB di Program Doktor (S-3) Agama dan Media/Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.