Perguruan Tinggi dan Lanskap Baru Pasar Tenaga Kerja
Keterampilan utama yang dibutuhkan pasar tenaga kerja saat ini adalah keterampilan berpikir kritis dan analitis.
Tahun lalu, World Economic Forum mengeluarkan sebuah laporan yang menunjukkan bahwa telah terjadi transformasi dalam pasar tenaga kerja. Salah satu cirinya adalah perubahan jenis keterampilan yang dibutuhkan.
Dalam tiga tahun mendatang, jenis keterampilan yang paling dibutuhkan pasar tenaga kerja adalah kemampuan berpikir analitis dan kreatif.
Keduanya adalah jenis keterampilan kognitif yang sangat diperlukan untuk merespons tantangan baru di dunia kerja.
Keterampilan-keterampilan teknis yang repetitif tidak akan lagi banyak dibutuhkan sebagaimana beberapa dekade yang lalu saat banyak pekerjaan masih bertumpu pada tenaga kasar manusia. Saat banyak kerja teknis dan repetitif mulai dialihkan pada mesin yang berbasis kecerdasan buatan, pasar tenaga kerja tidak akan lagi banyak membutuhkan keterampilan teknis.
Hal yang sama juga disampaikan Markow dkk dalam ”The New Foundational Skills of the Digital Economy”. Mereka menyebut ada tiga jenis keterampilan baru yang dibutuhkan dalam ekosistem ekonomi digital saat ini, yaitu keterampilan manusiawi (human skill), keterampilan digital, dan keterampilan pendukung bisnis.
Keterampilan manusiawi ini mencakup kemampuan analitis, kemampuan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas. Pertanyaannya: bagaimana perguruan tinggi, sebagai salah satu lembaga pendidikan penyuplai tenaga kerja usia produktif, merespons perubahan ini?
Berdasarkan data statistik tahun 2023, angkatan kerja yang merupakan lulusan perguruan tinggi itu sekitar 10 persen atau sekitar 15 juta orang. Melihat besarnya angka tersebut, perguruan tinggi perlu membuat respons yang hati-hati terhadap tren baru ini.
Namun, perlu dicatat bahwa filsafat yang semestinya diajarkan di semua jurusan itu bukanlah filsafat sebagai bidang keilmuan, melainkan filsafat sebagai keterampilan.
Tantangan untuk perguruan tinggi
Memang merupakan isu kontroversial apakah perguruan tinggi perlu menyesuaikan dengan kebutuhan pasar atau tidak. Akan tetapi, setidaknya kita dapat menyepakati dua hal: (1) perguruan tinggi memiliki tujuan utama untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa, yang tidak mesti selalu sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, dan (2) signifikansi kerja bagi manusia.
Manusia membutuhkan kerja karena setidaknya dua alasan. Pertama, kerja sebagai bentuk aktualisasi dirinya. Tanpa kerja, dalam artian yang luas, yang mencakup kerja profesional dan juga kerja non-profesional, manusia akan kehilangan saluran untuk melakukan aktualisasi diri.
Kedua, kerja sebagai bagian dari cara bertahan hidup. Ini tidak hanya terjadi di era modern dengan sistem ekonomi kapitalistik. Bahkan, pada masa berburu-meramu, manusia juga perlu bekerja, yaitu berburu dan meramu, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu, kerja tidak bisa disepelekan semata karena tampak tak berkaitan dengan hal-hal luhur dari manusia. Kerja justru hal mendasar, yang bisa menopang segala keluhuran yang dimiliki manusia. Namun, di era modern, kerja bisa memenuhi fungsinya sebagai cara pemenuhan kebutuhan hidup itu jika disesuaikan dengan kebutuhan pasar.
Karena itu, perguruan tinggi perlu menyeimbangkan antara misi pendidikan dan misi penyiapan tenaga kerja. Selama ini, misi penyiapan tenaga kerja sering kali dipandang melulu negatif oleh sebagian orang.
”Kampus sebagai pabrik buruh,” katanya. Semua orang yang bekerja dengan relasi pengupahan itu adalah buruh, termasuk dosen dan tenaga kependidikan di dalam kampus itu sendiri.
Meski demikian, dengan menyeimbangkan antara misi pendidikan dan misi penyiapan kerja, perguruan tinggi punya tugas mempersenjatai para calon buruh itu dengan kritisisme sehingga mereka terberdayakan.
Selama ini, karena misi penyiapan kerja selalu dipandang negatif, perguruan tinggi tak pernah serius memikirkan bagaimana cara mempersenjatai para calon buruh yang adalah mahasiswa itu dengan kritisisme.
Kini, tantangan itu belum teratasi, tetapi sudah muncul tantangan baru untuk perguruan tinggi. Tantangan itu datang dari lanskap pasar tenaga kerja itu sendiri. Sejumlah keterampilan yang diajarkan di perguruan tinggi tidak akan lagi dibutuhkan dalam tren pasar tenaga kerja beberapa tahun mendatang. Karena itu, mengingat misi penyiapan kerja, perguruan tinggi perlu beradaptasi dengan tren ini.
Solusi filsafat
Tantangan baru tersebut, di satu sisi, memang menuntut perubahan mendasar bagi perguruan tinggi, tetapi, di sisi lain, juga memberikan peluang bagi perguruan tinggi untuk melakukan langkah strategis terkait misi penyiapan kerja yang menguntungkan bagi para calon buruh. Perguruan tinggi bisa melakukan misi penyiapan kerja dengan sekaligus mempersenjatai para calon buruh.
Sebagaimana disebutkan di atas, keterampilan utama yang dibutuhkan pasar tenaga kerja saat ini adalah keterampilan berpikir kritis dan analitis. Persis keterampilan itulah yang juga dibutuhkan para buruh agar mereka punya senjata untuk memberdayakan diri mereka sendiri di hadapan para pemberi kerja yang punya kecenderungan eksploitatif.
Sejumlah keterampilan yang diajarkan di perguruan tinggi tidak akan lagi dibutuhkan dalam tren pasar tenaga kerja beberapa tahun mendatang.
Pada titik inilah, filsafat memiliki peran sentral untuk mengatasi tantangan ini. Meski sering dipandang sebelah mata sebagai jurusan yang tak memiliki prospek kerja, filsafat justru jurusan yang paling diuntungkan oleh perkembangan ini.
Selama ini, jurusan filsafat memang telah melatih mahasiswanya dengan jenis keterampilan yang paling dibutuhkan untuk menyongsong perubahan itu, mulai dari kemampuan berpikir kritis hingga berpikir kreatif.
Inti utama pembelajaran filsafat adalah melatih mahasiswa terampil dalam berpikir kritis dan kreatif. Kritis artinya selalu mengulik apa yang tampak lumrah dan kreatif artinya terampil menemukan kemungkinan-kemungkinan dalam situasi yang tampak sangat mustahil. Dengan demikian, tenaga kerja yang sudah dilatih di filsafat akan selalu lincah (agile) merespons situasi sulit dan memproses banyak informasi.
Oleh karena itu, dengan mengajarkan filsafat pada semua mahasiswa, apa pun jurusannya, perguruan tinggi berarti telah melakukan dua hal sekaligus. Pertama, ia telah memberikan pendidikan kritis bagi mahasiswa. Kedua, ia telah memberikan solusi komprehensif bagi tantangan pasar tenaga kerja.
Baca juga: Pendidikan dan Pentingnya Berpikir Kritis
Mahasiswa dilatih keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kreatif sesuai yang dibutuhkan pasar tenaga kerja dan juga pada saat yang sama dipersenjatai agar ketika bekerja bisa menjadi buruh yang berdaya.
Namun, perlu dicatat bahwa filsafat yang semestinya diajarkan di semua jurusan itu bukanlah filsafat sebagai bidang keilmuan, melainkan filsafat sebagai keterampilan. Mata kuliah yang memuat keterampilan dasar filsafat (kritis dan analitis) adalah logika. Dengan kata lain, semua jurusan di level sarjana mesti mengajarkan logika bagi mahasiswanya.
Filsafat sebagai bidang keilmuan mungkin bisa diajarkan untuk semua mahasiswa pascasarjana. Mahasiswa doktoral bidang fisika, biologi, atau psikologi, misalnya, perlu belajar filsafat fisika, filsafat biologi, atau filsafat psikologi.
Dengan demikian, untuk merespons tantangan terbaru pasar tenaga kerja ini, perguruan tinggi perlu mendesain ulang kurikulumnya agar setiap jurusan mengajarkan keterampilan-keterampilan dasar filsafat.
Siti Murtiningsih, Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada