Pendaftaran Bakal Cagub Kalbar Didominasi ”Wajah-wajah Lama”
Minimnya tokoh muda dalam bursa pendaftaran salah satunya karena hambatan akses kepada pengambil keputusan di parpol.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Pendaftaran bakal calon gubernur Kalimantan Barat didominasi ”wajah-wajah lama”. Minimnya tokoh muda dalam bursa pendaftaran dinilai karena hambatan akses kepada pengambil keputusan di parpol. Untuk membangun elektabilitas dan modal sosial yang kokoh juga memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit.
Namun kendala-kendala tersebut tidak berlaku bagi mereka yang menjadi bagian politik dinasti. Sebab, mereka yang menjadi bagian politik dinasti ditopang oleh jejaring kekerabatan di dalam dinasti politik.
Dalam masa pendaftaran dan penjaringan calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Barat 2024, nama-nama yang mendaftar sebagai calon gubernur di sejumlah partai politik (parpol) didominasi wajah-wajah lama. Mereka kerap tampak di publik dalam berbagai kontestasi politik.
Mereka, antara lain, adalah Gubernur Kalbar 2018-2013 Sutarmidji dan Wakil Gubernur Kalbar 2018-2023 Ria Norsan. Kemudian, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI-P Lasarus dan mantan bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan.
Parpol di daerah ada yang telah menyerahkan sejumlah nama, termasuk keempat nama tersebut ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP) untuk dibahas. Ada juga parpol yang mulai menguji elektabilitas sejumlah nama yang telah mendaftar, termasuk keempat nama tersebut. Setelah itu, menyerahkan keputusannya ke DPP.
Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Jumat (10/5/2024), menuturkan, pencalonan merupakan refleksi situasi internal parpol. Ketika di internal parpol yang memimpin dan mendominasi struktur parpol merupakan tokoh-tokoh lama, maka yang mengambil keputusan juga mereka. Akhirnya, kemungkinan yang direkomendasikan maju dalam pilkada juga figur-figur lama.
Pencalonan juga menggambarkan bagaimana kekuatan internal partai. Kekuatan di internal partai dikendalikan oleh mereka yang menjadi bagian struktur elite partai dan menguasai pendanaan partai sehingga lebih mapan dari sisi pembiayaan pemenangan.
”Itu tidak terlepas dari situasi pilkada yang kerja-kerja pemenangan mayoritas dibebankan kepada calon. Mereka juga memiliki kapital lebih besar dari pada tokoh-tokoh muda,” kata Titi.
Ini berkaitan dengan realitas pembiayaan pemenangan pilkada bergantung pada calon. Selain itu, adanya politik biaya tinggi pilkada di Tanah Air. Biaya politik tinggi itu dipengaruhi hal-hal yang bersifat pragmatis.
Ketika di internal parpol yang memimpin dan mendominasi struktur parpol merupakan tokoh-tokoh lama, maka yang mengambil keputusan juga mereka. Akhirnya, kemungkinan yang direkomendasikan maju dalam pilkada juga figur-figur lama.
Belum lagi, dalam pilkada pencalonannya tersentralisasi. Pengusungan calon hanya bisa dilakukan kalau calon mendapatkan rekomendasi dari DPP. Sementara akses kepada DPP dikendalikan elite-elite parpol yang merupakan figur-figur lama.
”Orang muda atau tokoh politik muda mengalami hambatan akses kepada pengambil keputusan di interal parpol, hambatan kapital, dan sentralisasi pencalonan,” kata Titi.
Biaya tinggi
Di sisi lain, membangun elektabilitas juga memerlukan biaya. Dari sisi geografis, pilkada di Indonesia wilayahnya luas. Untuk menjangkau pemilih, memerlukan jejaring politik dan modal. Sementara bagi orang muda, mengakses kepemimpinan di partai saja tidak mudah untuk duduk di posisi elite. Dia harus memiliki modal sosial dan itu memerlukan waktu untuk mendapatkan basis politik yang kokoh.
”Itulah keuntungan bagi orang muda yang menjadi bagian politik dinasti karena ditopang jejaring kekerabatan dan modal kapital,” ungkap Titi.
Gambaran sulitnya bagi orang muda membangun elektabilitas dan modal sosial yang kokoh, dikisahkan salah satu mantan calon anggota DPRD Kabupaten Sintang Dapil Sintang 4 dari Partai Hanura, Marlensia Emy, Jumat pagi.
Untuk menggaet hati konstituen saja, harus menembus medan menantang. Bahkan, ia pernah menangis di jalan tatkala terjebak di jalan berlumpur dan melintasi puluhan tanjakan licin.
Kendati ia telah membuat aksi nyata di desa, tetap tidak mudah mendapatkan suara. Dari sekitar 400 suara yang ditargetkan, ia hanya mampu memperoleh 100 suara di salah satu desa yang ia kunjungi sehingga tidak terpilih.
Hal serupa juga pernah dialami Agapitus, mantan calon anggota DPRD Kabupaten Ketapang Dapil 3 dari PDI-P. Kendati ia telah memiliki modal sosial di daerah pemilihan, pragmatisme di masyarakat membuatnya sulit mendulang suara.
Ditambah lagi, wilayah jangkauan yang menantang. Ia harus mengarungi sungai deras dan berbatu dengan perahu setiap ingin menemui pemilih. Menjangkau wilayah tertentu memerlukan biaya tinggi, terutama yang dijangkau melalui sungai.