Penjualan Antibiotik di Indonesia Tembus Rp 10 Triliun
Dari golongan obat yang diresepkan dokter, penjualan antibiotik ternyata yang paling tinggi.
JAKARTA, KOMPAS — Nilai penjualan antibiotik di Indonesia menembus lebih dari Rp 10 triliun dalam satu tahun dengan tren yang terus meningkat. Angka ini mengindikasikan luasnya konsumsi antibiotik di Tanah Air, baik lewat resep dokter maupun yang dijual bebas di apotek, lokapasar, dan aplikasi telemedisin.
Setelah menunggu sepekan, IQVIA akhirnya mengirimkan data penjualan antibiotik di Indonesia, Rabu (13/3/2024). Perusahaan multinasional bidang riset informasi dan teknologi kesehatan ini menyetujui permintaan Kompas untuk mencuplik data penjualan antibiotik.
Baca juga: Banyak Dokter Masih Serampangan Meresepkan Antibiotik
Untuk di Indonesia, IQVIA menjadi satu-satunya lembaga yang mendata penjualan antibiotik terlengkap dan menjadi rujukan industri farmasi dalam menganalisis pasar kesehatan. Kepada Kompas, lembaga riset asal Amerika Serikat itu mengirimkan dua tabel yang merekam penjualan antibiotik 2018-2022. Satu tabel merinci nilai penjualan dalam rupiah, sedangkan tabel data penjualan berikutnya dalam bentuk volume.
Tahun 2018, penjualan antibiotik sebesar Rp 8,9 triliun. Sempat turun saat terjadi wabah Covid-19 (Rp 7,9 triliun tahun 2020). Satu tahun kemudian, penjualan antibiotik meningkat jadi Rp 9,4 triliun. Pasar antibiotik kembali bergairah dengan nilai transaksi mencapai Rp 10,4 triliun pada 2022.
Senior Principal IQVIA Erwin Widjaja menjelaskan, penjualan antibiotik tahun 2022 itu setara 12,12 persen dari total penjualan semua obat resep. ”Dari golongan obat resep, penjualan antibiotik terbesar, jauh melampaui obat diabetes yang berada di peringkat kedua (Rp 5,7 triliun) dan obat digestitif (Rp 5 triliun),” ujarnya.
Baca juga: Resep Antibiotik di Rumah Sakit Tanpa Pengawasan
Sebagai obat keras atau obat yang hanya bisa didapat lewat resep, antibiotik diberi tanda khusus. Di labelnya ada lingkaran warna merah dengan tulisan K berkelir hitam. Semua obat keras memiliki tanda ini.
Apotek
Kendati berstatus obat keras, antibiotik nyatanya beredar secara bebas di pasaran. Di Pasar Pramuka, Jakarta—yang terkenal sebagai pasar gelap produk farmasi—obat ini masih saja mudah didapat. Di sejumlah apotek, antibiotik pun bisa dibeli tanpa resep. Kompas membuktikan ini dengan membeli antibiotik di empat apotek yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk perusahaan pelat merah Kimia Farma.
Pertengahan Februari 2024, tim membeli antibiotik cefixime di apotek Kimia Farma yang berada di Surabaya, Jawa Timur. Cefixime merupakan antibiotik kategori ”watch" yang diawasi ketat penggunaannya. Bahkan, dokter saja tak bisa leluasa meresepkan antibiotik kategori ini karena harus dikaji dulu ketepatannya dengan diagnosis penyakit pasien.
Baca juga: Rumah Sakit Menghemat Biaya dari Pengendalian Antibiotik
Namun, karyawan di apotek milik Kimia Farma di Surabaya itu tidak menanyakan resep saat Kompas menanyakan antibiotik Cefixime. Karyawan langsung menawarkan cefixime dengan merek dagang Cefila. ”Agak mahal ini, Pak, Rp 611.000, yang generiknya lagi kosong,” ujar karyawan berjas putih dengan tanda nama tertulis apoteker itu.
PT Kimia Farma Tbk ketika dikonfirmasi menyatakan, pembelian antibiotik wajib membawa resep dari dokter dan dokter gigi. ”Apabila ada praktik yang tidak sesuai dalam hal penyerahan antibiotik tanpa resep dokter, kami akan tindak lanjuti,” ujar Corporate Secretary PT Kimia Farma Tbk Dharma Syahputra, Rabu (13/3/2024).
Selain di Kimia Farma, tim juga mencoba pembelian di jejaring apotek swasta K24 yang gerainya tersebar di kota-kota besar. Adapun gerai apotek yang didatangi berada di Surabaya dan Semarang, Jawa Tengah. Di dua tempat itu, kondisinya sama saja. Antibiotik bisa dibeli tanpa resep.
Baca juga: Sakit Sedikit, Jangan Lari ke Antibiotik
Manajer Operasional K24 Indonesia Endah Ekayani menuturkan secara tertulis, temuan Kompas tersebut terjadinya ketidaksesuaian antara kebijakan yang berlaku dan kondisi di masyarakat. Hal itu menjadi tantangan bagi jejaring Apotek K24. ”Masalah penggunaan antibiotik sangat kompleks dan melibatkan banyak sektor. Edukasi masyarakat harus dilakukan terus-menerus untuk memberikan kesadaran terkait penggunaan antibiotik," kata Endah.
Lokapasar dan telemedisin
Kompas juga menjajal pembelian antibiotik secara daring lewat lokapasar dan aplikasi telemedisin. Setali tiga uang dengan apotek, antibiotik juga mereka sediakan tanpa resep.
Dari penelusuran Kompas, ada lokapasar yang langsung menjual antibiotik layaknya kacang goreng. Di salah satu lokapasar yang berlogo hijau, misalnya, terdapat fitur ”lampirkan resep dokter” sebagai bentuk verifikasi sebelum transaksi dilakukan calon pembeli. Kendati demikian, fitur verifikasi ini bisa diakali. Kompas mencoba melampirkan foto koran untuk mengganti lampiran resep dan berhasil mendapatkan Cefixime pada Senin (11/3/2024).
Pada Kamis (14/03/2024) Kompas juga dapat membeli antibiotik kategori ”reserve", yakni meropenem untuk injeksi di salah satu lokapasar tanpa permintaan resep apa pun. Kategori tertinggi antibiotik ini dijual sebuah apotek di kawasan Jakarta Timur yang membuka toko virtual di salah satu lokapasar berlogo biru.
Baca juga: Mempertanyakan Kebiasaan Dokter Meresepkan Antibiotik
Sementara untuk mendapatkan antibiotik di aplikasi telemedisin seperti Halodoc, pembeli diminta menjalani ”konsultasi untuk resep”. Layar gawai memunculkan ruang percakapan dengan seorang dokter yang namanya terpampang. Kemudian, pembeli diminta menjawab sejumlah pertanyaan, seperti obat untuk siapa, apakah wanita hamil, apa keluhan yang dirasakan, dan adakah alergi obat. Kompas menjawab pertanyaan tersebut singkat seadanya.
Tak lama, masuk pesan otomatis berbunyi: ”Halo Bapak/Ibu, saya bersedia dan sedang meresepkan obat-obatan untuk Anda. Mohon kesediaan Anda untuk menunggu”. Dalam waktu hanya tiga menit sejak mulai hendak membeli, pembelian antibiotik kategori ”watch" itu pun sudah terkonfirmasi, siap dikirim, dan lalu diterima dalam waktu sekitar satu jam.
Kompas meminta respons Halodoc yang menjawab secara tertulis sekalipun isinya tidak sesuai pertanyaan. Kompas bertanya di antaranya, mengapa fitur ”konsultasi dahulu dengan dokter" hanya formalitas dan permintaan pembelian antibiotik dari pemilik akun langsung dikabulkan?
VP Corporate Affairs Halodoc Adeline Hindarto dalam jawaban tertulisnya menyatakan, ”Halodoc senantiasa mengedukasi masyarakat apabila memang memiliki keluhan kesehatan segera dapat berkonsultasi dengan dokter sebagai ahlinya untuk kemudian mendapatkan rekomendasi obat jika memang diperlukan sesuai dengan hasil diagnosis. Dan, sesuai arahan pemerintah, penting bagi masyarakat untuk membeli obat atau vitamin hanya di apotek/fasilitas kesehatan ataupun platform penyelenggara sistem elektronik farmasi (PSEF).
Baca juga:”Industrio-Medical Complex” Makin Kompleks
Salah kaprah
Menurut Koordinator Penatagunaan Antimikroba (PGA) Kementerian Kesehatan Hari Paraton, fenomena pembelian antibiotik tanpa resep terjadi hampir di semua kota di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh nilai penjualan tergolong tinggi sehingga sejumlah apotek tergerak untuk menjualnya meski tanpa resep. ”Kemudian pada daerah tertentu, ada masyarakat yang marah saat tak dilayani pemberian antibiotiknya,” ujar Hari.
Baca juga: Obat Rasional, Kuncinya Dokter
Masyarakat yang mengonsumsi antibiotik tanpa resep, lanjutnya, tidak muncul tiba-tiba. Perangai ini terbentuk oleh oknum dokter sendiri yang bertahun-tahun meresepkan antibiotik secara salah. Contoh, demam berdarah, batuk pilek, sakit tenggorokan, tetap diresepkan antibiotik. ”Masyarakat pun akhirnya tercetak, ‘Oh kalau saya batuk pilek, saya harus minum antibiotik.' Akhirnya beli sendiri ke apotek,” ujarnya.
Tingginya peredaran antibiotik juga disebabkan oleh ketatnya kompetisi di kalangan produsen farmasi agar produk antibiotik lebih terserap di pasaran. ”Ini kayak perang dagang karena pemerintah mengizinkan satu jenis antibiotik diproduksi oleh beberapa industri farmasi. Misalnya Dexa, Sanbe, Kalbe, sama-sama memproduksi antibiotik yang sama,” katanya lagi.
Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi GP Farmasi Indonesia Vincent Harijano ketika dikonfirmasi membenarkan data IQVIA dan menyebut survei lembaga tersebut akurat. Dia juga membenarkan bahwa industri farmasi terus mendorong penjualan antibiotik. Namun, ia mengklaim industri farmasi melakukannya lewat jalur yang benar.
Pembelian antibiotik tanpa resep bukan salah industri farmasi. Yang salah adalah masyarakat dan apotek yang menjual antibiotik tanpa resep.
Dia melanjutkan, obat keras didistribusikan ke apotek dan dipromosikan lewat proses detailing kepada dokter. Harapannya setelah dijelaskan keunggulan sebuah produk antibiotik, dokter bakal meresepkan produk itu lebih banyak ke pasien dan pasien menebusnya di apotek. Semua jalur ini menurut dia dibolehkan dan tak ada yang dilanggar.
”Kami selalu ikuti aturan yang ada dan aturannya memang seperti itu,” ujarnya. Menurut dia, pembelian antibiotik tanpa resep bukan salah industri farmasi. Yang salah adalah masyarakat dan apotek yang menjual antibiotik tanpa resep.
Dalam pengawasan
Terkait meningkatnya bakteri-kebal akibat penggunaan antibiotik yang berlebihan, Vincent enggan membahasnya. Sebab, resistensi antimikroba adalah ranah medis. ”Kalau besaran (penjualan) tidak apa-apa. Tetapi, kalau sampai menyinggung peningkatan (penjualan) itu bisa meningkatkan resistensi (antimikroba) dan ditanya seberapa besar, karena apa, dan sebagainya, itu poin ini yang saya kira sensitif. Kami tak mau masuk ke ranah medis,” katanya.
Baca juga: Bakteri-Kebal Perenggut Nyawa Kita
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Riska Andalusia menyatakan, lembaganya sudah memiliki perangkat khusus untuk mengawasi peredaran antibiotik. ”Apabila ditemukan pelanggaran, maka diberikan tindak lanjut atau sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan," ucap Lucia.
BPOM rutin berpatroli di dunia maya untuk menjaring akun-akun yang menjual obat yang tidak sesuai ketentuan. Apabila terdapat pelanggaran, BPOM akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta asosiasi platform lokapasar untuk melakukan penurunan (take down) konten.
Baca juga:Ihwal Upaya Mengubah Paradigma Antibiotik di Indonesia
***
Tulisan 6 dari 10