Amnesty International: Tatanan Dunia di Ambang Kehancuran
Tatanan dunia terancam perang, dari Gaza, Ukraina, hingga Myanmar. Begitu pula kecerdasan buatan yang dibiarkan liar.
LONDON, RABU — Tatanan dunia pasca-Perang Dunia II di ambang kehancuran. Ancaman berasal dari berbagai faktor, mulai dari konflik sengit, perang, hingga perkembangan kecerdasan buatan yang cepat dan liar.
”Semua yang kita saksikan selama 12 bulan terakhir menunjukkan bahwa sistem global berada di ambang kehancuran,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard saat merilis laporan tahunan ”Laporan Hak Asasi Manusia di Dunia”, di London, Inggris, Rabu (24/4/2024).
Laporan itu menyoroti para pemegang hak veto di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di antaranya Amerika Serikat (AS), Rusia, dan China. Negara-negara itu dinilai sebagai aktor kuat yang saat ini terlihat tak segan mempertaruhkan tatanan dunia pasca-Perang Dunia II tersebut.
Secara khusus, Callamard menyoroti peran AS dalam serangan Israel di Jalur Gaza. Selama enam bulan terakhir, kata Callamard, AS telah melindungi otoritas Israel dari pemeriksaan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan di Gaza.
Dengan menggunakan hak vetonya untuk menolak gencatan senjata yang sangat dibutuhkan Gaza, AS telah melumpuhkan kemampuan Dewan Keamanan PBB untuk bertindak yang seharusnya. ”Bagi jutaan orang di seluruh dunia, Gaza kini melambangkan kegagalan moral dari tatanan pasca-Perang Dunia II,” katanya.
Semua yang kita saksikan selama 12 bulan terakhir menunjukkan bahwa sistem global berada di ambang kehancuran.
Menurut data Kementerian Kesehatan wilayah Gaza yang dikelola Hamas, serangan Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 34.183 orang. Sebagian besar korban tewas perempuan dan anak-anak.
Sementara serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 mengakibatkan kematian setidaknya 1.170 orang, sebagian besar warga sipil. Serangan Hamas ini menjadi alasan Israel menyerang Gaza. Namun, setelah berlangsung selama 200 hari, serangan Israel ke Gaza tak juga berhenti dan korban terus berjatuhan.
Baca juga: AS Terus Lumpuhkan PBB soal Gaza
Amnesty International mengakui bahwa Hamas telah melakukan kejahatan mengerikan terhadap komunitas Israel di dekat perbatasan Gaza. Namun, lembaga pemantau hak asasi itu juga mengkritik tindakan Israel yang dinilai telah melancarkan hukuman kolektif terhadap seluruh warga Gaza.
”Ini kampanye yang disengaja, tanpa pandang bulu, serangan bom pada warga sipil dan infrastruktur sipil, pelarangan bantuan kemanusiaan, dan kelaparan yang disengaja,” tulis Callamard dalam kata pengantarnya di laporan tersebut.
Para sekutu Israel turut terlibat dalam serangan Israel dan kengerian yang terjadi di Gaza, termasuk negara-negara yang memberikan senjata ke Israel. Callamard menyesali kurangnya tindakan lembaga-lembaga internasional untuk hal ini. Ia juga mempertanyakan apakah cita-cita ”tidak akan pernah lagi” yang dicanangkan pasca-Perang Dunia II sudah tak berlaku lagi.
Frasa ”tidak akan pernah lagi” adalah slogan yang dikaitkan dengan pelajaran menjaga perdamaian dari genosida kaum Yahudi dalam Holocaust dan genosida lainnya. Slogan ini dimaksudkan untuk mencegah terulangnya tragedi yang sama. Setelah Perang Dunia II, PBB menyusun konvensi untuk mencegah dan menghukum genosida.
Baca juga: Terima Gugatan Genosida, Mahkamah Internasional Tidak Perintahkan Penghentian Perang Gaza
Pada akhir 2023, Afika Selatan menggugat Israel ke Mahkahmah Internasional (ICJ) dengan tudingan genosida di Gaza. Pretoria memohon ICJ memerintahkan gencatan senjata atau jeda kemanusiaan di Gaza. ICJ juga dimohon memerintahkan larangan menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Gugatan ini diterima, tetapi tidak ada perintah gencatan senjata. ”Pengadilan sangat menyadari besarnya tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah tersebut dan sangat prihatin dengan terus hilangnya nyawa dan penderitaan manusia,” kata Presiden Mahkamah Internasional (ICJ) Joan Donoghue.
Setelah berulang kali gagal menghasilkan resolusi gencatan senjata permanen di Gaza, PBB menyerukan penyelidikan terhadap kuburan massal yang ditemukan di dua rumah sakit besar di Gaza setelah diserang Israel. ”Penyelidik yang kredibel harus memiliki akses ke situs-situs tersebut,” kata juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric.
Baca juga: Ditemukan Kuburan Massal 180 Jenazah di Rumah Sakit yang Ditinggalkan Tentara Israel
Setidaknya ditemukan 283 jenazah dalam kuburan massal di rumah sakit utama di Khan Younis setelah serangan Israel pada Maret 2024. Saat itu, masyarakat tidak dapat menguburkan jenazah di kuburan dan menggali kuburan di halaman rumah sakit.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel menyebut laporan tentang kuburan massal di rumah sakit sangat meresahkan. Para pejabat AS telah meminta informasi kepada Pemerintah Israel terkait kuburan massal itu.
Aktor lain
Laporan Amnesty International juga mendokumentasikan pelanggaran aturan yang dilakukan Rusia secara terang-terangan dalam invasi ke Ukraina. Di antaranya penyiksaan atau perlakuan buruk terhadap tawanan perang.
Baca juga: Ukraina dan Rusia Mengeksekusi Tawanan Perang
Laporan itu juga menyebutkan bahwa China pun melawan hukum internasional dengan melindungi dan memberi bantuan keuangan kepada militer Myanmar yang telah menyerang warga sipil. ”Langkah-langkah mendesak diperlukan untuk merevitalisasi dan memperbarui lembaga-lembaga internasional yang dimaksudkan untuk melindungi umat manusia,” kata Callamard.
Laporan itu menyebut, China terus melindungi dirinya dari pengawasan internasional atas perlakuan terhadap kaum minoritas Uighur. PBB pertama kali mengungkapkan keberadaan jaringan pusat penahanan di wilayah Xinjiang pada 2018. Setidaknya 1 juta warga Uighur dan etnis minoritas lainnya ditahan di sana.
Baca juga: Penangkapan Warga Uighur Memanfaatkan Data Besar
China mengakui adanya kamp-kamp di wilayah tersebut. Namun, Beijing menyebutkan, kamp-kamp tersebut adalah pusat pelatihan keterampilan kejuruan yang diperlukan untuk mengatasi ekstremisme. Pada Oktober 2022, Dewan Hak Asasi Manusia PBB memilih untuk tidak memperdebatkan masalah itu.
Amnesty International menyerukan reformasi di Dewan Keamanan PBB. Reformasi ini terutama terkait aturan hak veto agar tidak dapat digunakan dalam situasi pelanggaran hak asasi manusia yang masif.
Kecerdasan buatan
Selain konflik, laporan Amnesty International itu menyebut kecerdasan buatan (AI) juga menjadi ancaman yang dapat mengikis hak asasi secara luas, melanggengkan kebijakan rasisme, dan memungkinkan penyebaran informasi yang salah.
Amnesty International menuding perusahaan teknologi besar mengabaikan ancaman tersebut, bahkan dalam konflik bersenjata. ”Para penjahat teknologi dan teknologi nakal mereka dibiarkan liar di dunia digital, seperti Wild West,” kata Callamard.
Baca juga: Kecerdasan Buatan Melanggengkan Bias Jender terhadap Perempuan
Menurut laporan Amnesty International, pembiaran itu dapat mempercepat pelanggaran hak asasi manusia pada 2024. Tahun ini dinilai sebagai tahun yang genting karena sejumlah negara besar menggelar pemilu, di antaranya India dan AS.
”Di dunia yang semakin genting, penerapan teknologi yang tidak diatur seperti AI generatif, pengenalan wajah, dan program mata-mata spyware siap menjadi musuh berbahaya yang meningkatkan pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia ke tingkat luar biasa,” kata Callamard.
Dia meminta pemerintah untuk mengambil langkah-langkah legislatif dan peraturan yang kuat. Hal ini penting untuk mengatasi risiko dan kerugian yang disebabkan teknologi AI.
Kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Inggris ini juga memperingatkan meningkatnya serangan terhadap perempuan dan komunitas yang terpinggirkan. Menurut temuan lembaga itu, peningkatan serangan ini dilakukan oleh banyak tokoh politik di berbagai belahan dunia. (AP/AFP)