Tuntutan Menjadi Orangtua Sempurna Memicu ”Burnout”
Saat orangtua berupaya menjadi sempurna akan membawa dampak yang tidak sehat bagi dirinya dan anak-anaknya.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Sebagai orangtua, acapkali ada beban untuk menjadi orangtua yang sempurna. Orangtua ingin menjadikan anak-anaknya unggul dan berprestasi. Beban untuk menjadi orangtua yang sempurna tersebut bisa membuat kita menjadi kelelahan secara fisik dan emosi (burnout) yang bisa membawanya pada stres, kecemasan, dan depresi.
Para peneliti dalam hasil studinya menunjukkan, tekanan pada orangtua yang berupaya menjadi sempurna malah membawa dampak yang tidak baik. Dampak buruk tersebut terjadi pada orangtua itu sendiri serta anak-anaknya.
Hasil survei pada 700 orang secara nasional pada 15 Juni-28 Juli 2023 dalam penelitian berjudul ”Kekuatan Pola Asuh Positif: Terbukti Membantu Orangtua dan Anak Mereka Berkembang” yang dilakukan The Ohio State University College of Nursing menunjukkan data sebagai berikut:
1. Sebanyak 57 persen orangtua melaporkan diri mereka burnout.
2. Burnout pada orangtua dikaitkan erat dengan harapan internal dan eksternal, termasuk agar mereka menjadi orangtua yang baik, persepsi penilaian orang lain, waktu bermain dengan anak, hubungan dengan pasangan, dan menjaga kebersihan rumah.
3. Semakin banyak waktu luang yang dihabiskan orangtua bersama anak dan semakin ringan beban kegiatan ekstrakurikuler terstruktur, semakin sedikit masalah kesehatan mental pada anak.
4. Kesehatan mental dan perilaku orangtua sangat berdampak pada kesehatan mental anak. Jika anak-anak mereka mempunyai gangguan kesehatan mental, orangtua melaporkan tingkat kelelahan yang lebih tinggi dan kemungkinan lebih besar bagi mereka untuk menghina, mengkritik, membentak, memaki dan/atau menyakiti anak-anak mereka secara fisik (misalnya memukul berulang kali). Tingkat kelelahan orangtua yang lebih tinggi dan praktik pengasuhan yang keras dikaitkan dengan lebih banyak masalah kesehatan mental pada anak-anak.
Kate Gawlik, doctor of nursing practice (DNP), salah satu peneliti utama studi ini, mengatakan berdasarkan pengalamannya sebagai ibu yang bekerja dengan empat anak, ilusi dan ekspektasi akan ”pengasuhan yang sempurna” bisa mengempis. ”Saya pikir media sosial benar-benar memberikan pengaruh,” kata profesor klinis di Ohio State College of Nursing tersebut, Rabu (8/5/2024), dalam laman internet Ohio State University.
Saya lebih memilih memiliki anak yang bahagia daripada anak yang sempurna.
Ia mencontohkan, posting-an ataupun reels atau story di Instagram menunjukkan orang-orang bisa berjalan-jalan. Hal itu bisa jadi membuat kita bertanya-tanya, mengapa mereka bisa melakukannya dan saya (sebagai orangtua yang ingin sempurna) tidak dapat?
”Kita punya ekspektasi yang tinggi terhadap diri kita sendiri sebagai orangtua; kita punya ekspektasi yang tinggi terhadap apa yang seharusnya dilakukan anak-anak kita,” kata Gawlik. Namun, di sisi lain, kita membandingkan diri kita dengan orang lain, keluarga lain, dan ada banyak penilaian yang terjadi.
Data dari studi tersebut menunjukkan, ekspektasi yang kuat dari apa yang disebut Gawlik sebagai ”budaya berprestasi” menyebabkan burnout. Lebih lanjut, hal ini memicu masalah lain.
”Ketika orangtua kelelahan, mereka akan mengalami lebih banyak depresi, kecemasan, dan stres, tetapi anak-anak mereka juga akan mengalami perilaku dan emosi yang lebih buruk,” kata Bernadette Melnyk, Wakil Presiden untuk Promosi Kesehatan dan pejabat di Ohio serta Helene Fuld Health.
Oleh karena itu, ungkapnya, sangat penting untuk menghadapi kenyataan jika kita sebagai orangtua merasa lelah. Lebih lanjut, kita perlu melakukan sesuatu untuk merawat diri.
Jadi orangtua positif
Laporan baru Gawlik dan Melnyk memberikan pembaruan penting pada studi awal mereka pada tahun 2022. Saat itu, mereka mengukur kelelahan orangtua yang bekerja selama puncak pandemi Covid-19.
Gawlik dan Melnyk menciptakan Skala Kelelahan Orangtua Bekerja yang pertama. Survei tersebut berisi 10 poin yang memungkinkan orangtua mengukur kelelahan mereka secara real-time dan menggunakan solusi berbasis bukti untuk membantu. Skala tersebut disertakan dalam laporan baru ini bersama dengan panduan baru mengenai strategi, teknik, dan tips mengasuh anak yang positif untuk membentuk hubungan yang lebih dalam dengan anak-anak.
”Pengasuhan yang positif adalah ketika Anda memberi anak Anda banyak cinta dan kehangatan, tetapi Anda juga memberikan struktur dan bimbingan dalam hidup mereka,” tutur Melnyk.
Misalnya, orangtua dengan lembut mengajari mereka konsekuensi dari perilaku. Hal itu jauh lebih baik, yaitu menjadi orangtua yang positif daripada orangtua yang sempurna.
Strategi yang bisa dilakukan antara lain tetap terhubung dan mendengarkan anak secara aktif. Lalu, menangkap, memeriksa, dan mengubah pikiran negatif menjadi positf. Menyesuaikan kembali harapan-harapan bagi orangtua dan anak. Kemudian, orangtua dapat merefleksikan dan bertindak berdasarkan prioritas.
”Jika mungkin Anda memprioritaskan untuk memastikan rumah Anda selalu bersih, tetapi kemudian Anda merasa tidak punya waktu untuk berjalan-jalan setiap malam bersama anak-anak Anda, mungkin Anda perlu menata ulang atau mencari cara untuk membuat kedua hal itu berhasil,” saran Gawlik.
Melnyk mengatakan, pendekatan berbasis bukti ini dapat membantu menenangkan apa yang disebutnya sebagai ”epidemi kesehatan masyarakat” dari kelelahan orangtua.
”Sebagai orang tua, kita tidak bisa terus-menerus menuang dari cangkir yang kosong. Jika anak-anak melihat orangtuanya menjaga diri dengan baik, kemungkinan besar mereka akan tumbuh dengan nilai tersebut juga. Hal ini mempunyai dampak yang besar terhadap anak-anak dan seluruh keluarga,” kata Melnyk.
”Seperti yang dikatakan salah satu orangtua kepada saya: Saya lebih memilih memiliki anak yang bahagia daripada anak yang sempurna,” tutur Gawlik.