Vasektomi, Pilihan Kontrasepsi Pria yang Jarang Dilirik
Vasektomi efektif 99 persen cegah kehamilan. Namun, masalah sosial-budaya membuat kontrasepsi pria ini kurang diminati.
Vasektomi sudah lama diperkenalkan sebagai salah satu metode kontrasepsi pria jangka panjang. Namun, persentase penggunanya di Indonesia tidak pernah mencapai 1 persen dan cenderung terus menurun. Persoalan sosial-budaya hingga lebih terbatasnya tenaga dan fasilitas kesehatan yang melayaninya membuat vasektomi sulit berkembang.
Pilihan kontrasepsi modern bagi laki-laki memang terbatas, hanya ada kondom dan vasektomi. Meski vasektomi memiliki tingkat keberhasilan mencegah kehamilan sangat tinggi, nyatanya metode kontrasepsi mantap ini kurang banyak dilirik, baik oleh calon akseptor, tenaga kesehatan, pemerintah, maupun lembaga donor.
Vasektomi atau disebut juga metode operasi pria (MOP) adalah jenis kontrasepsi modern, non-hormonal, dan jangka panjang pada pria. Vasektomi merupakan tindakan sterilisasi pada laki-laki yang dilakukan dengan cara memotong dan mengikat saluran sperma (vas deferens) kiri dan kanan yang membawa sperma dari testis menuju penis. Operasi ini dilakukan oleh dokter bedah, dokter urologi, atau dokter umum terlatih.
Pemotongan saluran itu membuat sperma tidak bisa bercampur dengan air mani atau cairan semen. Dengan demikian, saat laki-laki yang divasektomi itu mengalami ejakulasi, air maninya tidak lagi mengandung sperma. Konsekuensinya, saat terjadi hubungan suami-istri, suami tidak bisa membuahi sel telur istri sehingga tidak terjadi kehamilan.
Baca juga: Kegiatan Vasektomi Akan Digalakkan
Tindakan vasektomi yang populer di Indonesia dan dunia saat ini, seperti dikutip dari situs Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 18 November 2019, adalah vasektomi tanpa pisau bedah. Prosedur ini dipilih karena minimnya risiko dan komplikasi yang ditimbulkan. Selain aman, prosesnya pun relatif singkat.
Pembengkakan, rasa tidak nyaman, atau pendarahan bisa saja terjadi selama dan sesudah tindakan dilakukan. Setelah operasi, laki-laki yang telah menjalani vasektomi diharapkan tidak ejakulasi dulu selama tujuh hari serta menghindari kerja berat selama beberapa hari.
Setelah operasi, vasektomi yang dilakukan tidak langsung otomatis berfungsi secara efektif. Karena itu, mereka masih disarankan untuk menggunakan kontrasepsi tambahan minimal selama tiga bulan dan melakukan pemeriksaan analisis sperma pada bulan ketiga setelah operasi untuk benar-benar memastikan bahwa air maninya tidak mengandung sperma.
Tingkat keberhasilan vasektomi dalam mencegah kehamilan mencapi 99 persen. Artinya, hanya kurang 1 dari 100 perempuan yang hamil setelah pasangan laki-lakinya menjalani prosedur vasektomi selama satu tahun.
Meski vasektomi bersifat permanen, tersedia tindakan untuk mengembalikan vasektomi atau membalikkan saluran sperma seperti sebelum dipotong dan diikat. Efektivitas tindakan yang disebut vasovasostomi ini dalam mengembalikan kesuburan pria, menurut Yale Medicine, bisa mencapai 80-90 persen jika dilakukan oleh ahli bedah mikro yang berpengalaman.
Namun, vasovasostomi ini lebih tidak populer lagi di Indonesia. Tindakan vasovasostomi lebih kompleks, lebih menantang, dan membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan operasi vasektomi. Vasovasostomi tidak hanya sekadar menyambung kembali saluran sperma yang sebelumnya dipotong, tetapi juga harus memastikan adanya sperma di saluran tersebut.
Suami dan istri memiliki kedudukan sejajar dan tanggung jawab yang sama dalam persoalan kesehatan reproduksi.
Karena itulah, setiap pasangan yang akan melakukan vasektomi perlu memikirkannya secara matang. Tindakan vasektomi akan berdampak sepanjang hidup sehingga jangan gunakan emosi untuk memutuskannya.
Bukan hanya urusan perempuan
Meski efektivitasnya dalam mencegah kehamilan sangat tinggi, vasektomi belum menjadi pilihan banyak calon akseptor pria. Metode ini, karena pertimbangan budaya dan kebiasaan masyarakat, sering dijadikan pilihan terakhir bagi pasangan usia subur yang memang sudah tidak ingin punya anak lagi.
Pedoman Pelayanan Kontrasepsi dan Keluarga Berencana, Kementerian Kesehatan, 2021 menyebut, semua laki-laki bisa menjalani vasektomi secara aman setelah mereka mendapatkan konseling dan menandatangani formulir persetujuan (informed consent).
Laki-laki yang bisa menjalani vasektomi itu termasuk laki-laki yang sudah memiliki anak lebih dari 2 orang atau memiliki anak minimal 2 orang dengan usia anak paling kecil di atas 2 tahun. Pria yang memiliki istri dalam rentang usia reproduksi atau menderita penyakit sel sabit (kelainan bawaan yang membuat sel darah merah berbentuk sabit) juga bisa divasektomi.
Bahkan, laki-laki yang berisiko tinggi terinfeksi penyakit infeksi menular seksual atau sudah terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) pun, baik yang sedang menjalani pengobatan antiretroviral atau tidak, juga bisa melakukan vasektomi.
Dari aspek kesetaraan jender, vasektomi dipandang sebagai upaya laki-laki mengambil alih beban perempuan dan menanggung risiko penggunaan kontrasepsi yang selama ini terfokus untuk perempuan. Bagaimanapun, suami dan istri memiliki kedudukan sejajar dan tanggung jawab yang sama dalam persoalan kesehatan reproduksi.
Meski demikian, banyak persoalan sosial-budaya membuat pelaksanaan vasektomi pada pria tidak berjalan mulus. Banyak mitos dan kesalahpahaman muncul terkait vasektomi, seperti isu vasektomi memicu penurunan libido pada laki-laki, membuat suami tidak bisa ejakulasi, memicu impotensi, hingga menyamakan vasektomi dengan kebiri. Rumor itu berkembang lebih cepat dibandingkan dengan penyebaran informasi yang benar tentang vasektomi.
Baca juga: Dokter di China Tolak Lakukan Vasektomi
Selain itu, sebagai kontrasepsi permanen dan jangka panjang, kesempatan untuk memulihkan kembali saluran sperma yang dipotong menjadi lebih terbatas. Kondisi ini membuat keluarga besar dari pasangan suami-istri yang akan melakukan vasektomi sering dilibatkan dalam pengambilan keputusan vasektomi.
Berbagai pertanyaan mendasar sering diajukan, seperti bagaimana nanti jika pasangan suami-istri yang telah melakukan vasektomi itu ingin memiliki anak lagi, baik karena memang ingin menambah buah hati atau anak sebelumnya meninggal?
Atau, bagaimana jika pasangan suami-istri itu kemudian bercerai, baik cerai hidup atau cerai mati, dan sang lelaki ingin menikah lagi? Bukankah istri baru sang lelaki juga berhak untuk memperoleh keturunan dari lelaki tersebut? Juga muncul kekhawatiran di masyarakat bagaimana jika laki-laki yang sudah divasektomi akan menjadi ”gemar jajan” karena merasa tidak bisa menghamili perempuan lagi?
Di sisi lain, keyakinan keagamaan juga memiliki andil besar yang membuat vasektomi tidak populer di Indonesia. Setidaknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram tentang vasektomi hingga empat kali, yaitu tahun 1979, 1983, 2009, dan 2012.
Dalam Fatwa MUI 2012 disebutkan vasektomi haram, kecuali dilakukan untuk tujuan yang tidak menyalahi aturan agama, tidak menimbulkan kemandulan permanen, ada jaminan bahwa saluran sperma yang dipotong sebelumnya bisa disambung lagi dan fungsi reproduksi kembali seperti semula, serta tidak menimbulkan bahaya bagi yang melakukan. Selain itu, MUI juga meminta agar vasektomi tidak dimasukkan dalam program KB dan kontrasepsi mantap.
Namun, seperti ditulis Muhyiddin dalam Jurnal Pemikiran Hukum Islam Al Ahkam, April 2014, perubahan hukum vasektomi yang menjadi diperbolehkan dengan syarat tertentu nyatanya belum meningkatkan jumlah akseptor pria yang mengikuti vasektomi. Situasi itu bisa jadi disebabkan fatwa terbaru belum disosialisasikan secara luas dan masih banyak ulama dan organisasi Islam lain yang tetap mengharamkan vasektomi dengan sejumlah alasan.
Prevalensi rendah
Berbagai persoalan sosial-budaya maupun teknis medis vasektomi itu membuat prevalensi laki-laki di Indonesia yang menjalani vasektomi sangat rendah. Data World Contraceptive Use 2022 yang disusun Departemen Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDESA) menunjukkan prevalensi vasektomi di Indonesia pada 2018 hanya 0,3 persen.
Sementara prevalensi tubektomi atau sterilisasi pada perempuan telah mencapi 1,9 persen atau enam kali lebih banyak dari laki-laki yang melakukan vasektomi. Prevalensi vasektomi tertinggi di Indonesia terjadi tahun 1994 sebanyak 0,7 persen.
Baca juga: Pria Perlu Pakai Alat Kontrasepsi, Jangan Hanya Perempuan
Sementara Profil Statistik Kesehatan 2023 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik menyebut persentase pasangan usia subur 15-49 tahun yang menggunakan kontrasepsi dengan metode vasektomi pada 2023 hanya 0,21 persen. Mereka yang memilih vasektomi paling kecil dibandingkan dengan jenis kontrasepsi lainnya, termasuk kondom pria sebesar 2,44 persen.
Sementara persentase pengguna kontrsepsi lainnya, yang digunakan oleh perempuan, antara lain tubektomi sebesar 3,46 persen, spiral atau IUD (intra uterine device) 8,94 persen, dan suntikan 53,34 persen. Selain itu, mereka yang menggunakan pil sebanyak 18,74 persen dan susuk atau implan 10,75 persen. Ada pula yang memakai metode pantang berkala sebanyak 1,43 persen yang termasuk metode tradisional untuk mencegah kehamilan.
Situasi ini membuat pelibatan laki-laki di Indonesia dalam kesehatan reproduksi, khususnya terkait penggunaan kontrasepsi, masih menjadi tantangan besar. Jika karena masalah sosial-budaya membuat vasektomi sulit dikembangkan, sejatinya masih ada kontrasepsi lain bagi laki-laki yang bisa didorong, yaitu kondom.
Namun, kampanye penggunaan kondom di Indonesia selalu menimbulkan masalah meski alat kontrasepsi itu dijual bebas di minimarket-minimarket. Mitos dan sugesti soal kenyamanan kondom juga menghambat upaya mendorong penggunaan kontrasepsi ini.
Di tengah semua masalah itu, hal yang sudah pasti terjadi adalah terus meningkatnya kasus penyakit menular seksual di Indonesia, mulai dari sifilis hingga HIV-AIDS. Sedihnya, penyakit ini banyak diderita oleh penduduk usia produktif yang sangat dibutuhkan tenaganya untuk membangun bangsa. Kurangnya kesadaran juga membuat mereka menularkan penyakit ini kepada pasangan sahnya sehingga makin menggandakan jumlah penderitanya.
Baca juga: TNI Dilibatkan dalam Sosialisasi Kontrasepsi Pria
Karena itu, tidak ada jalan lain selain membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat, pemerintah, dan tenaga kesehatan terhadap isu pembangunan kesehatan reproduksi dan seksualitas. Kesehatan reproduksi tidak hanya urusan perempuan, tetapi laki-laki juga bisa terlibat aktif karena laki-laki yang sehat reproduksinya akan membawa kesehatan dan kebahagiaan bagi istri dan keluarganya.