Kesempatan Seumur Hidup, Komet ”Setan” 12P/Pons-Brooks Mendekati Matahari
Komet ”setan” 12P/Pons-Brooks di dekat Matahari, Minggu (21/4/2024). Ini peluang sekali seumur hidup buat melihatnya.
Komet 12P/Pons-Brooks atau populer dengan sebutan komet ”setan” akan mencapai jarak terdekatnya dengan Matahari pada Minggu (21/4/2024). Bagi pemburu dan penggemar komet, ini adalah kesempatan sekali seumur hidup untuk bisa menyaksikan komet yang hanya mengunjungi Matahari setiap 71 tahun sekali.
Komet 12P/Pons-Brooks bukanlah komet baru. Meski identifikasi pertama komet ini baru dilakukan pada tahun 1812, catatan berbagai sumber sejarah pernah menyebut kehadiran komet ini sejak tahun 245. Terakhir kali, komet ini menyambangi Matahari pada 1954 dan setelah ini akan mengunjungi kembali Matahari pada 2095.
Komet ini cukup dikenali manusia karena cahayanya yang cukup terang serta perubahan kecerlangan komet yang terjadi secara tiba-tiba. Perubahan kecerlangan itu membuat komet ini terlihat lebih terang dan lebih redup secara bergantian sehingga tidak hanya membawa keindahan tetapi juga misteri.
Kehadiran komet Pons-Brook periode ini dideteksi pertama kali oleh astronom di Observatorium Lowell, Arizona, Amerika Serikat, pada 10 Juni 2020. Saat itu, komet berada di luar orbit planet Saturnus pada jarak 11,9 satuan astronomi (jarak rata-rata Matahari-Bumi sekitar 150 juta kilometer) dan memiliki tingkat kecerlangan atau magnitudo 23.
Baca juga: Komet C/2022 E3 (ZTF) dan Pembawa Pesan dari Ujung Tata Surya
Pada 20 Juli 2023, saat komet berada pada jarak 3,9 satuan astronomi, komet meledak sehingga mendadak menjadi 100 kali lebih terang, dari magnitudo 16-17 menjadi magnitudo 11-12 (makin kecil magnitudo berarti makin terang). Ledakan ini melepaskan sekitar 10 miliar kilogram debu dan es ke luar angkasa.
Ledakan itu juga membuat inti komet yang lebarnya sekitar 30 km mengembang dan membentuk selubung gas yang menyerupai tapal kuda. Namun, sebagian orang menilai bentuk tapal kuda itu lebih mirip bentuk tanduk setan sehingga sejak saat itu komet ini lebih dikenal dengan sebutan komet “setan”.
Sembari melanjutkan perjalanannya mendekati Matahari, komet ini setidaknya sudah meledak lima kali sampai Januari 2024. Penyebab dari ledakan tersebut belum diketahui pasti. Namun, seperti dikutip dari Space, 17 April 2024, ledakan itu kemungkinan besar berasal dari aktivitas gunung api es yang ada di komet tersebut.
Masyarakat Jawa menyebut komet sebagai lintang kemukus dan kemunculannya menjadi pertanda buruk alias pembawa ontran-ontran.
Richard Miles dari Perhimpunan Astronomi Inggris (BAA) menyebut komet Pons-Brooks termasuk kelompok komet kriovulkanik atau komet yang memiliki gunung es. Diperkirakan ada sekitar 10-20 komet yang punya gunung es aktif. Selain komet, gunung es aktif juga bisa ditemui pada obyek es lain di Tata Surya, seperti satelit planet raksasa, asteroid, dan kemungkinan juga ada di planet Katai.
Gunung es itu mengandung “magma” yang berisi campuran hidrokarbon cair dan gas terlarut yang dingin. Campuran cairan dan gas itu terperangkap di bawah lapisan gunung es yang konsistensinya seperti lilin. Saat sinar Matahari yang panas bisa menerobos lapisan gunung es itu, maka akan terjadi ledakan karena kandungan “magma” tersebut adalah bahan-bahan yang mudah menguap.
Sampai tujuan
Pada Minggu (21/4/2024) nanti, perjalanan komet Pons-Brooks akan mencapai tujuan akhirnya, yaitu Matahari. Dia akan berada di jarak terdekatnya dengan Matahari atau perihelion sebesar 117 juta km atau 240 juta km dari Bumi. Setelah itu, sang komet akan menyudahi ziarahnya ke Matahari dan kembali menuju ke rumah asalnya yang berjarak 33,62 satuan astronomi atau sedikit lebih jauh dari orbit planet Neptunus.
“Komet ini dapat dilihat dari Indonesia sejak akhir Maret 2024 hingga akhir Mei 2024,” kata laboran Pusat Observatorium Astronomi Institut Teknologi Sumatera Lampung (OAIL) Aditya Abdilah Yusuf. Namun, puncak kecerlangan atau kondisi komet paling terang terjadi sekitar tanggal 20 April 2024.
Keberadaan komet Pons-Brooks di dekat Matahari akan memberikan pemandangan yang menakjubkan bagi pengamat di Bumi. Komet ini bisa disaksikan selepas Matahari terbenam dalam waktu cukup singkat, sekitar satu jam sebelum akhirnya akan terbenam mengikuti Matahari.
Komet akan terlihat bersinar kehijauan. Jika beruntung, akan terlihat dua ekor komet yang memancar menjauhi Matahari, yaitu ekor debu yang searah dengan arah gerak komet mengitari Matahari dan ekor ion yang arahnya akan selalu berseberangan dengan posisi Matahari. Ekor ion mengandung banyak partikel bermuatan sehingga arah geraknya akan selalu menjauhi Matahari.
Dalam pemotretan komet Pons-Brooks yang dilakukan Aditya A Yusuf dari Pusat Observatorium Astronomi Institut Teknologi Sumatera Lampung (OAIL), pada Senin (15/4/2024), ekor komet tidak terlalu terlihat. Mendung tipis di arah barat membuat citra komet yang tertangkap lebih dominan bagian inti komet saja.
Untuk beberapa hari ke depan, posisi komet akan berada di sebelah utara atas Matahari atau sebelah selatan atas planet Jupiter. Karena itu untuk memudahkan pencarian, cari dulu keberadaan planet Jupiter yang relatif mudah dikenali karena cukup terang. Namun setelah mencapai perihelion nanti, posisi komet akan berada di selatan atas Matahari.
Komunikator astronomi dan pendiri langitselatan Avivah Yamani menambahkan dari awal April 2024 hingga menjelang komet berada di jarak terdekatnya dengan Matahari, kecerlangan komet berkisar antara 4,7-5,5 magnitudo. Artinya, komet sebenarnya bisa diamati dengan mata telanjang.
Persoalannya, ketinggian komet sangat rendah sekitar 10 derajat karena komet memang sedang berada di dekat Matahari. “Matahari yang baru terbenam akan menyisakan cahaya senja yang terang dan menutupi cahaya komet yang jauh lebih redup,” kata Avivah. Namun saat pendar cahaya senja sudah hilang, posisi komet sudah semakin rendah sehingga tidak mudah untuk diamati.
Untuk itu, pengamatan komet Pons-Brooks ini membutuhkan binokuler atau teleskop kecil. Komet bisa diamati mata telanjang jika langit disekitar ufuk benar-benar bersih dari awan, bebas polusi cahaya, dan tentu saja tidak mendung apalagi hujan.
Budaya
Komet ini pertama kali dibukukan secara ilmiah oleh astronom Perancis Jean-Louis Pons (1761-1831) menggunakan teleskop buatannya sendiri pada 12 Juli 1812. Saat terdeteksi, komet ini belum memiliki ekor. Sebulan kemudian, komet mencapai kecerahan maksimum, memiliki dua ekor, dan bisa diamati dengan mata telanjang. Dari perhitungan, periode komet atau waktu yang dibutuhkan komet untuk satu kali mengelilingi Matahari adalah 65-75 tahun.
Berikutnya, pengamat komet AS-Inggris William R Brooks (1844-1921) mengamati komet secara tidak sengaja pada 2 September 1883. Dari perhitungan periode orbit, baru disadari bahwa komet itu adalah komet yang sama dengan yang ditemukan Pons pada 71 tahun sebelumnya. Karena itulah, komet ini diberi nama Pons-Brooks.
Dengan periode orbit sekitar 71 tahun, komet Pons-Brooks masuk kategori komet tipe Halley, yaitu kelompok komet dengan periode orbit antara 20-200 tahun alias hanya bisa dilihat manusia sekali seumur hidup. Komet lain yang memiliki tipe sama antara lain 13P/Olbers, 23P/Brosen-Metcalf, dan tentu saja yang paling terkenal 1P/Halley.
Baca juga: Komet Hale-Bopp, Keindahanan nan Tragis
Komet Pons-Brooks, seperti ditulis dosen tamu di Planetarium Hayden, New York, AS Joe Rao di Space, diberi kode 12P sebagai penunjuk bahwa ini adalah komet ke-12 yang periode orbitnya telah dihitung. Dengan demikian, nama lengkap komet ini menjadi komet 12P/Pons-Brooks.
Meski catatan ilmiah pertama yang diakui tentang komet Pons-Brooks adalah hasil pengamatan Pons dan Brooks, jauh sebelum itu sudah banyak sumber sejarah dalam berbagai budaya yang menceritakan tentang komet ini.
Penjejakan astronom Jerman Maik Meyer pada 2020 menemukan, komet teramati dengan mata telanjang di era dinasti Ming di China pada November 1385 dan juga catatan lain di China yang berangka tahun 245 adalah komet Pons-Brooks. Demikian pula komet yang dicatat oleh astronom Italia Paolo dal Pozzo Toscanelli pada Januari 1457.
Dalam banyak budaya, termasuk masyarakat AS, kemunculan komet sering dianggap sebagai pembawa tanda buruk sehingga memicu ketakutan, kecurigaan, dan takhayul. Munculnya emosi negatif itu berbaur dengan rasa ingin tahu dan kekaguman atas keindahan ketampakan bintang berekor itu.
“Komet memiliki sejarah yang panjang, umumnya sebagai pertanda dan pembawa kabar buruk,” kata Woody Sullivan, profesor astronomi seperti dikutip di situs Universitas Washington, Seattle, AS, 24 Maret 1997. Paus Callixtus III bahkan pernah menyebut komet Halley yang muncul tahun 1456 sebagai alat yang dikirim iblis.
Ahli nujum bangsa Inca menyebut kemunculan komet sebagai tanda kemurkaan dewa-dewa yang memicu jatuhnya kerajaan Inca ke tangan Spanyol. Kemunculan komet Halley pada 1835-1836 juga dianggap pemicu kebakaran besar di New York, AS, pembantaian suku Boer di Afrika Selatan, dan pembantaian orang Texas oleh Meksiko.
Di Indonesia, masyarakat Jawa menyebut komet sebagai lintang kemukus dan kemunculannya menjadi pertanda buruk alias pembawa ontran-ontran. Munculnya komet C/2019 Y4 Atlas pada April 2020 dianggap sebagai tanda datangnya pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat harus tinggal di rumah dan membatasi aktivitas.
Kehadiran komet C/1965 S1 Ikeya-Seki sering dikaitkan dengan tragedi G30 S yang memakan banyak korban dan komet C/1969 Y1 Bennett dikaitkan dengan kematian Proklamator Indonesia Soekarno pada 1970.
Elemen komet itulah yang dianggap memicu munculnya kehidupan di Bumi.
Namun, praduga itu sebenarnya lebih terkait dengan siapa yang memaknai kehadiran komet tersebut. Kemunculan komet pada 44 sebelum Masehi dianggap sebagai tanda kemuliaan atas kematian Kaisar Romawi Julius Caesar. Komet juga dianggap sebagai pertanda baik karena kehadirannya menandai kemenangan Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte dalam sejumlah perang.
Kepercayaan itu tetap ada hingga kini meski sudah tidak semasif di masa lalu. Bagaimanapun, komet hanyalah benda Tata Surya yang mengunjungi Matahari dalam periode waktu tertentu. Mereka bisa berasal dari sekitar orbit planet Jupiter, Sabuk Kuiper yang terletak setelah orbit planet Neptunus, Awan Oort yang menyelubungi bagian luar Tata Surya, bahkan bisa berasal dari luar Tata Surya.
Aditya mengatakan mendekatnya komet ke Matahari sejatinya tidak memberi dampak signifikan bagi Bumi karena jaraknya yang cukup jauh. Namun mendekatnya komet ke Matahari menjadi momen yang baik bagi ilmuwan dan masyarakat awam untuk memahami seluk beluk komet.
”Astronom bisa menghitung ulang lintasan komet, memahami pengaruh semburan gas dari inti komet terhadap perubahan orbitnya, hingga melakukan spekstroskopi terhadap ekor dan inti komet untuk mencari tahu elemen dasar penyusun komet,” katanya. Elemen komet itulah yang dianggap memicu munculnya kehidupan di Bumi.
Sementara bagi awam, kemunculan komet tidak hanya memberikan pemandangan langit yang indah, tetapi juga menjadi kesempatan tambahan untuk mempelajari komet, menambah koleksi fotografi komet, hingga menangkap momentum datangnya komet-komet dengan periode orbit panjang yang hanya bisa diamati seumur hidup. Kemunculan komet bisa menjadi media pembelajaran masyarakat untuk mengenali astronomi dan lingkungan sekitarnya lebih baik.
Karena itu, kehadiran komet tidak perlu ditakuti. Cukup nikmati keindahannya dan kenali seluk-beluknya. Ini adalah kesempatan baik untuk terus mengasah nalar dan menjaga kepekaan emosi kita. Selamat berburu keindahan komet ”setan”!