Kapital Transformatif Menjadi Modal Media Massa Beradaptasi di Era Digital
Media menghadapi tantangan tidak mudah di era digital. Kapital transformatif menjadi modal penting untuk beradaptasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Disrupsi teknologi digital mengguncang industri media massa di dalam dan luar negeri. Banyak media besar mereorganisasi perusahaan, memperkecil unit usaha, bahkan menutup edisi cetaknya. Kapital transformatif menjadi modal penting bagi media untuk beradaptasi di era digital.
Dalam sidang promosi doktor bidang komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Kota Depok, Jawa Barat, Jumat (19/4/2024), Ignatius Haryanto Djoewanto mengatakan, kapital transformatif merujuk pada kemampuan organisasi media beradaptasi dalam situasi yang berbeda.
Kapital transformatif tersebut tecermin dalam berbagai perubahan, mulai dari visi jurnalis, pendistribusian berita, cara mengakses berita, ekosistem media, hingga komposisi iklan terhadap pemasukan.
”Kapital transformatif merupakan modalitas yang dibutuhkan dalam perubahan itu,” ujarnya saat menyampaikan disertasi berjudul ”Disrupsi Digital, Journalistic Field (Arena Jurnalistik), dan Transformative Capital di Kompas dan Tempo (1995-2020)”. Dalam sidang itu, Haryanto dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Sejak pertengahan dekade pertama abad ke-21, banyak perusahaan menutup edisi cetaknya dan beralih ke platform digital. Fenomena ini terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Berbagai inovasi dilakukan untuk merespons perubahan itu, salah satunya melalui konvergensi media. Namun, tak semua upaya yang dilakukan berhasil. Haryanto mengatakan, penelitian disertasinya ingin melacak bagaimana proses evolusi dan transformasi yang terjadi di ruang redaksi Kompas dan Tempo dalam menghadapi digitalisasi media.
Redaksi Kompas dan Tempo mengalami perubahan signifikan. Perubahan dari iklim media analog menuju digital bukan terletak pada masalah perubahan teknologi semata, melainkan juga terdapat sejumlah persoalan, salah satunya disparitas antara jurnalis generasi digital migran dan jurnalis generasi digital native.
Haryanto menuturkan, Kompas dan Tempo sama-sama terlambat mengantisipasi perkembangan media dan jurnalisme digital. Pada awalnya, kedua media juga tidak sepenuh hati mengembangkan media digital karena rasa percaya diri yang kuat sebagai pemimpin pasar di media cetak.
Berbagai inovasi dilakukan untuk merespons perubahan itu, salah satunya melalui konvergensi media. Namun, tak semua upaya yang dilakukan berhasil.
”Ketika media online muncul dan berkembang, kehadiran platform baru ini dilihat sebelah mata. Sampai akhirnya kedua media ini sadar turunnya pendapatan dari sisi iklan dan sirkulasi media bukanlah hal yang terjadi secara alami, tetapi karena ada perubahan secara struktural, baik lingkungan di industri media maupun perubahan dari para pembaca,” katanya.
Menurut Haryanto, Kompas dan Tempo memiliki kapital transformatif yang membawa kedua media itu masuk ke era digital. Transformasi ini tergambar dari berbagai inovasi yang dilakukan, termasuk dengan mengembangkan platform digital.
Kedua media juga mengembangkan konten berita berlangganan. Namun, inovasi ini belum sesukses yang dibayangkan. Perlu kampanye masif untuk berlangganan atau membayar untuk mengakses berita bermutu.
”Transformasi digital sudah berjalan dan kedua media memiliki kapital transformatif untuk beradaptasi dengan situasi digital. Namun, masih membutuhkan waktu untuk membuktikan kesuksesan mereka dari sisi penghasilan yang diraih dalam era digital ini,” ujarnya.
Haryanto menambahkan, dalam beradaptasi di era digital, kedua media mengalami trial and error. Hal ini kemudian memunculkan upaya-upaya untuk mengambil inspirasi dari inovasi yang dilakukan media-media di negara lain.
”Akan tetapi, cara ini tidak selalu berhasil. Setelah sekian lama, mereka menemukan ritme sendiri mengenai apa yang lebih pas dilakukan untuk kondisi sekarang,” ucapnya.
Keprihatinan
Sidang yang berlangsung selama sekitar satu jam tersebut dipimpin oleh Dekan FISIP UI Prof Semiarto Aji Purwanto. Sementara Eriyanto dan Irwan Julianto masing-masing menjadi promotor dan kopromotor.
Eriyanto mengatakan, topik disertasi tentang kapital transformatif di tengah disrupsi media itu ditulis atas keprihatinan Haryanto terhadap banyaknya media cetak yang tutup. Namun, di sisi lain, muncul media-media lain yang cukup segar di era digital.
”Penelitian ini mencoba memahami fenomena disrupsi, bagaimana menghadapinya, dan benarkah media bisa bertahan dengan situasi ini. Modal apa yang harus dimiliki media agar bisa bertahan,” ujarnya.
Sebelum dinyatakan lulus, Haryanto mendapatkan sejumlah pertanyaan dan masukan dari para penguji. Penguji Indah Santi Pratidina, misalnya, mempertanyakan seberapa krusial menggambarkan kondisi media pada Orde Baru dalam penelitian tersebut.
Haryanto mengatakan, hal itu dilakukan untuk menunjukkan perbandingan antara situasi media saat Orde Baru dan era reformasi. Di samping itu, kemunculan media daring di Tanah Air sudah dimulai pada 1990-an.