Sensasi ”Horor” Bergelantung di Tepi Gedung Pencakar Langit Dubai
Kaki saya langsung lemas. Perut terasa mual. Ini bukan karena saya mengidap mag kronis, melainkan karena takut.
Waktunya uji nyali telah tiba. Peserta Sky View Edge Walk digiring ke pinggir balkon gedung pencakar langit yang tanpa pagar. Angin di ketinggian menerpa cukup kencang, membuat nyali saya menciut.
Gedung Sky View menjulang seperti menggapai langit kota Dubai, Uni Emirat Arab. Ini adalah menara kembar yang dihubungkan dengan sebuah jembatan ikonik serba kaca. Dua menara kembar itu masing-masing setinggi 260,8 meter dan 237,45 meter.
Saya dan beberapa wartawan dari Jakarta yang diundang Dubai Economy Tourism, tiba di sana Sabtu (23/3/2024) menjelang tengah hari. Kami langsung naik ke lantai 53 dengan lift berdinding kaca yang meluncur cepat ke angkasa, meninggalkan pemandangan di kaki Sky View yang seolah mengecil. Perjalanan beberapa detik dengan lift itu menjadi semacam appetizer sebelum kami mencoba menu wisata petualangan yang sebenarnya.
Tiba di lantai 53 yang ditempati Hotel Address Sky View, kami langsung digiring ke sebuah lobi yang telah dipenuhi tamu. Rupanya mereka peserta wisata di ketinggian yang sedang antre menunggu giliran. Sebagian besar adalah turis mancanegara yang sedang melancong ke Dubai. Ada yang berkulit putih, dan lebih banyak yang berkulit berwarna.
Rombongan kami sedikit beruntung mendapat akses langsung sehingga tidak perlu repot-repot antre dengan peserta lain. Dua petugas memastikan kami telah mengisi formulir pernyataan kesehatan. Lantas meminta kami mengganti pakaian dengan semacam wearpack dan helm di ruang ganti. Setelah itu, mereka memasangkan tali pengaman dan mencoba kekuatannya dengan menariknya keras-keras. Mereka juga memastikan peserta berkacamata telah mengikat kacamatanya dengan tali khusus dan gawai yang kami bawa untuk memotret telah dimasukkan ke dalam kantong khusus dan tali pengaman. Para petugas itu bekerja dengan sangat detail demi keamanan semua peserta petualangan.
”Ini petualangan yang super-safe. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Nikmati sensasi dari petualangan ini dengan gembira,” kata seorang perempuan petugas kepada saya saat mengecek semua perangkat pengaman. Mungkin dia mengatakan hal itu karena menangkap wajah saya yang sedikit khawatir.
Petugas lantas memberikan penjelasan singkat tentang tur Sky View Edge Walk. Intinya, kami akan diajak berjalan di sisi terluar gedung pencakar langit ini yang tanpa pagar sama sekali. Ikuti semua instruksi petugas dan semua akan baik-baik saja karena tur ini menerapkan sistem keamanan yang sangat tinggi. Penjelasan itu membuat hati saya sedikit lega.
Sedetik kemudian, tali pengaman kami dikunci ke semacam rel di langit-langit ruangan yang menjalan hingga keluar gedung. Pahamlah saya bahwa kami akan berjalan menyusuri gedung dengan bertaut pada rel yang menjaga kami agar tidak jatuh.
Pintu kaca yang menghubungkan ruang persiapan dan balkon gedung akhirnya dibuka. Udara siang itu cerah. Angin di ketinggian menerpa wajah saya cukup kencang, membuat nyali saya menciut. Namun, tidak ada kata untuk mundur.
Saya dan rombongan akhirnya melangkah pelan berjajar keluar dari ruang persiapan meniti balkon tanpa pagar. Kini, saya dan rombongan berada sisi dinding kaca Sky View yang langsung berbatasan dengan angkasa di ketinggian 219,5 meter atau sekitar 1,5 kali tinggi Tugu Monas. Mata saya leluasa memandang kota Dubai yang dipenuhi gedung-gedung jangkung dengan dinding kaca yang sebagian memantulkan cahaya matahari. Di antara hutan beton itu, Burj Khalifa paling menjulang. Bangunan setinggi 828 meter yang merupakan bangunan tertinggi di dunia sejak 2009 itu berdiri gagah sekaligus anggun. Sungguh pemandangan yang spektakuler.
Saya lantas memandang ke sekitar Jalan Sheikh Zayed di bawah sana. Semua tampak serba kecil. Manusia yang berlalu lalang tampak seperti noktah, sementara kendaraan-kendaraan besarnya tampak seperti kawanan semut yang berbaris di jaringan jalan kota yang melingkar-lingkar. Seketika kepala saya pusing dan jantung berdegup keras. Gaya gravitasi terasa membentot semua bobot tubuh saya ke bawah.
Dua instruktur—satu berjalan paling depan, satunya paling belakang—meminta kami terus berjalan menyusuri lantai balkon yang semakin sempit. Hingga akhirnya lantai balkon hanya menyisakan tempat berpijak seluas satu meter, yang membuat saya mengeratkan pegangan tangan saya pada tali yang menghubungkan tubuh saya dengan rel.
Baca juga: Bertualang ke Gurun Dubai
Di balkon sempit itu tiba-tiba instruktur meminta kami berhenti dan mempersilakan kami mengambil foto. Sekitar lima menit kemudian, mereka meminta kami melakukan sesuatu yang membuat jantung saya berdegup keras. Bergiliran masing-masing dua orang, mereka meminta kami berdiri di ujung lantai sambil berpegang pada tali pengaman dengan kaki menekuk. Posisi tubuh menghadap ke dinding gedung atau membelakangi angkasa yang kosong. Setelah itu, ia meminta kami melepaskan pegangan pada tali dan membentangkan tangan untuk difoto.
Kaki saya langsung lemas. Perut mulai terasa mual. Saya yakin ini bukan karena saya mengidap mag kronis, melainkan karena saya ketakutan. Apalagi di belakang saya, salah seorang rombongan kami juga ketakutan hingga menangis.
Buat saya, momen ini mengerikan sekaligus membuat penasaran. Namun, rasa ngeri lebih menguasai sehingga saya tidak sanggup melakukan hal itu. Saya hanya menyetujui berdiri menyamping di sisi terujung lantai balkon dan membentangkan tangan untuk sesi foto. Itulah aksi maksimal yang bisa saya lakukan ketika itu.
Di antara rombongan kami, hanya empat orang yang nekat melakukan itu. Dan semuanya adalah perempuan. Saya tidak malu mengatakan kepada mereka bahwa mereka adalah perempuan-perempuan hebat yang berhasil menaklukkan rasa ngeri.
Setelah sesi itu, semua terasa lebih mudah. Kami terus menyusuri sisi terluar gedung tinggi itu hingga tur selama 20-an menit itu berakhir di sebuah ruangan di dalam gedung. Rombongan kami berteriak melepaskan ketegangan sekaligus meluapkan kegembiran. Salah seorang anggota rombongan yang mengaku takut ketinggian menangis haru. Kami menenangkannya dan mengatakan bahwa semua telah berakhir dengan baik dan kami bangga atas keberaniannya melawan ketakutan.
Meluncur di ketinggian
Masih ada satu tur lagi yang dilakukan di ketinggian. Kali ini, kami akan meluncur di balkon miring di sisi gedung. Balkon selebar satu meteran itu berdinding, beratap, dan berlantai kaca. Dari balkon itu, kita bisa melihat angkasa sekaligus pemandangan kota di bawah sana.
Saya mengira atraksi ini akan membuat saya akan ketakutan seperti tadi, ternyata semua berjalan biasa-biasa saja, apalagi hanya berlangsung beberapa detik. Seandainya saya diminta berkali-kali pun, saya akan melakukannya.
Atraksi terakhir sama sekali tidak mendebarkan buat saya. Kami berjalan di jembatan berdinding dan berlantai kaca yang menghubungkan dua menara Sky View di lantai 42. Saya berkali-kali melihat ke bawah melalui lantai kaca, menikmati kesibukan di Jalan Sheikh Zayed. Di situ, kami memuaskan diri untuk mengambil gambar pemandangan kota yang super modern ini.
Wisata di ketinggian ini seluruhnya memakan waktu sekitar satu jam. Kami turun dari gedung dengan lift yang meluncur deras ke lantai bawah sambil tertawa bersama mengingat kembali atraksi gila Edge Walk atau berjalan menyusuri sisi terluar gedung pencakar langit.
Memasuki waktu makan siang, akhirnya kami meninggalkan gedung itu. Perasaan saya kembali campur aduk antara senang telah mengikuti wisata ”gila” Edge Walk, sekaligus menyesal karena tidak sanggup mencoba berdiri di pinggir gedung di ketinggian 219,5 meter sambil membentangkan tangan seperti burung. Mungkin lain kali saya akan sanggup melakukannya.
Baca juga: Ngabuburit di Bawah Burj Khalifa