Tidak ada ”takjil war” di Dubai seperti yang heboh di Indonesia. Kita bisa tenang berburu takjil tanpa takut kehabisan.
Oleh
BUDI SUWARNA
·5 menit baca
Waktu berbuka telah tiba, Rabu (20/3/2024). Setelah membatalkan puasa, saatnya kami, rombongan wartawan dari Indonesia yang diundang Dubai Economic Tourism, berburu takjil di Diera Souk atau Pasar Diera, Dubai, Uni Emirat Arab. Ini adalah pasar tradisional ikonik di tengah jantung kota Dubai yang berwajah modern. Pasar ini terbagi-bagi dalam beberapa blok, antara lain Gold Souk (pasar emas) dan Spice Souk (pasar rempah).
Kami menyusuri lorong-lorong pasar yang diapit jejeran toko-toko yang bermandi cahaya. Di sela-sela atau emperan toko, ada sejumlah pedagang chai, minuman berbasis teh dan susu yang dibubuhi aneka rempah. Bau harum chai yang mereka racik menguar ke udara, mengabarkan jejak kenikmatan.
Kami terus berjalan dan akhirnya sampai di sebuah ruang kosong di mana beberapa lorong pasar bertemu. Di sana ada beberapa bangku kayu yang ditata melingkar, tempat orang-orang menikmati chai dan aneka camilan. Kami menempati dua bangku yang kosong, tepat di hadapan kedai kecil Al Shaiba Bakery yang menyediakan aneka roti zaatar, potato naan, brain bread, cheese honey, labreh, dan sebagainya.
Pemiliknya seorang Afghanistan bernama Abdullah yang sudah 30-an tahun berdagang di Diera Souk. Laki-laki bertubuh tinggi besar dan berjenggot panjang itu amat ramah. ”Asalamualaikum,” sambutnya sambil menjabat erat tangan saya.
Kemudian ia tersenyum dan berkata dengan bahasa Inggris patah-patah. Dia bilang, ”Telapak tangan kamu kecil sekali, seperti telapak tangan anak-anak.”
Tawa kami pun pecah. Saya perhatikan, telapak tangan Abdullah memang jauh lebih besar dibandingkan telapak tangan orang Indonesia pada umumnya. Bentuknya lebar dan bulat seperti piring. Mungkin karena tiap hari dipakai untuk membanting-banting adonan roti.
Kami memesan roti zaatar yang direkomendasikan oleh Arva Ahmed, pemilik Fryingpan Adventure, yang memandu kami sore itu. Itu adalah semacam roti kebab yang dibakar di dalam tandoor, pemanggang tradisional dari tanah liat. Roti diisi dengan zaatar, yakni racikan rempah dari keluarga oregano, keju segitiga, dan sumak (semacam biji berwarna merah yang beraroma lemon), biji wijen, dan minyak zaitun. Dalam beberapa menit zaatar itu telah disajikan dalam bungkus aluminium foil.
Ketika bungkus dibuka, harum menguar dari roti zaatar berwarna krem yang tampak lembab dan hangat. Saya mengambil sepotong dan menyantapnya. Roti itu bertekstur lembut dan sedikit lengket ketika dikunyah. Rasanya tawar seperti roti kebab pada umumnya. Bagian dalamnya zaatar berwarna hijau kecoklatan dan bertekstur seperti saus tomat dengan jejak harum rempah khas Timur Tengah. Rasanya gurih, asin, dan sedikit asam.
Roti zaatar itu kami nikmati bersama segelas karak, yakni semacam teh susu (chai) ditambah safron, kapulaga pakistan, dan gula. Rasa susu, teh, gula, kapulaga, dan safron cukup seimbang. Minuman ini cocok diteguk saat udara dingin karena meninggalkan rasa hangat di tubuh.
Perjodohan bihun dan sirop
Dari kedai Al Shaiba, kami beranjak ke bagian luar Diera Souk yang berhadapan dengan Dubai Creek, sungai yang sejak ribuan tahun lalu menjadi urat nadi perdagangan kota Dubai. Kami diperkenalkan dengan camilan berbuka puasa bernama faludeh yang dibeli di sebuah kedai milik orang Iran. Menurut Arva Ahmed, camilan ini sedang viral di negara-negara Arab.
Ketika faludeh disajikan dalam mangkuk plastik kecil, mata saya agak melotot karena heran. Bagaimana mungkin bihun disajikan dengan es serut dan sirop manis. Sebuah kombinasi bahan yang tak lazim buat orang Indonesia, yang biasa menyantap bihun goreng.
Dengan sedikit ragu, saya mencuil sedikit faludeh berwarna putih dengan rona merah keunguan, dengan ujung sendok. Rasanya seperti makan bihun dingin yang hambar dengan balutan sirop rosberi berwarna ungu. Sungguh aneh. Herannya, dalam dua-tiga suapan berikutnya, lidah saya bisa menerima rasa faludeh yang segar.
”Sirup yang dipakai pada faludeh sangat terkenal di Timur Tengah, mulai dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan sebagainya. Namanya Vimto. Tidak ada Ramadhan di Timur Tengah tanpa Vimto,” ujar Arva.
Vimto berbahan dasar buah beri, anggur, blackcurrant, dan beberapa rempah. Rasanya manis segar dengan aroma anggur dan beri yang moderat. Minuman ini berasal dari Inggris yang sampai ke Dubai melalui India. Pembuatnya adalah John Noel Nichols. Minuman ini meraih sukses di Inggris. Dari sini, Vimto mulai dibawa oleh para pelaut hingga menyebar ke India, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
Kini, Vimto menjadi penanda Ramadhan seperti halnya sirop Marjan di Indonesia. Dalam beberapa acara perjamuan makan yang kami hadiri di Dubai, mulai dari yang digelar di gurun, perkantoran, kedai di sela-sela kios pasar, sampai restoran supermahal di pelataran Burj Khalifa, Vimto selalu disajikan.
Puas dengan faludeh dan Vimto, kami melanjutkan perburuan ke kawasan Bur Dubai yang dipisahkan oleh Dubai Creek dari Diera Souk. Kami menggapai Bur Dubai dengan perahu kayu tradisional yang disebut abra. Perahu itu membelah Dubai Creek yang tenang, tetapi ramai dilintasi perahu abra dan perahu-perahu wisata. Sepanjang perjalanan, sisi kota Dubai lama yang berada di pinggir sungai berkilauan oleh cahaya lampu berwarna keemasan.
Hanya beberapa menit, kami sampai di Bur Dubai, kawasan pasar tradisional yang banyak dihuni pendatang dari India dan Yaman. Suasananya tidak berbeda dari Diera Souk yang hiruk-pikuk.
Kami langsung menuju Restoran Robou Al Yaman, yang terletak di pinggir Dubai Creek, untuk makan besar. Kami makan secara lesehan di karpet permadani seperti yang dilakukan banyak keluarga Arab.
Kami memesan semacam nasi briyani, fahsa, madfoon, mulawah, dan teman-temannya. Fahsa tidak lain menu berbahan sapi yang tampangnya mirip rendang kalio, tetapi rasanya mirip kari. Madfoon adalah daging domba berempah yang dipanggang dalam oven tradisional yang dipendam di dalam tanah. Dagingnya lembut dan rasanya gurih. Daging ini bisa disantap dengan semangkuk kaldu bernama shorba yang rasanya seperti soto.
Sementara itu, mulawah semacam roti Timur Tengah dengan taburan jinten hitam. Rasanya tawar dan jejak jinten hitamnya kuat. Mulawah cocok disantap dengan cocolan zahaweeg, semacam saus tomat dicampur racikan daun ketumbar, cabai hijau, jinten, dan garam. Rasa hambar mulawah akan diisi oleh saus zahaweeg yang segar dan sedikit asam.
Perburuan takjil dan makan besar hari itu akhirnya usai. Aneka makanan dan minuman yang kami coba meninggalkan memori tentang cita rasa asing tapi nikmat di lidah kami—orang-orang yang biasa menyantap masakan Padang atau Jawa. Selain itu, makanan dan minuman tersebut membuka mata lebar-lebar soal keanekaragaman bangsa yang menghuni Dubai.
Ya, jejak tentang penghuni sebuah kota bisa kita lihat dari makanan dan minumannya.