Target Rasio Utang Era Prabowo Membengkak, DPR Ingatkan Jangan Kebablasan
Hampir semua kantong keuangan negara dibebani utang. Pemerintahan baru mesti ekstra hati-hati ke depan.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sasaran rasio utang dan defisit fiskal tahun 2025 ditargetkan ”membengkak” hingga mendekati level pandemi Covid-19. Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang tinggi, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang baru ditetapkan menjadi presiden dan wakil presiden terpilih diingatkan untuk tidak kebablasan dan konsisten menjaga disiplin fiskal.
Peringatan itu muncul untuk menyikapi isi dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025. Dalam dokumen itu, target defisit fiskal diperlebar menjadi 2,45-2,80 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), naik signifikan dari posisi defisit fiskal pada 2023 sebesar 1,66 persen terhadap PDB.
Target rasio utang juga meningkat signifikan dari posisi rasio utang pada 2023 sebesar 38,59 persen terhadap PDB menjadi 39,77-40,14 persen terhadap PDB. Meski masih di bawah batas aman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, yakni 60 persen, kedua indikator penentu disiplin pengelolaan keuangan negara itu melebar cukup signifikan.
Bahkan, rasio utang membengkak hingga melewati tahun 2020 (39,4 persen terhadap PDB) dan mendekati level tahun 2021 (40,7 persen terhadap PDB). Di periode itu, kebutuhan pengeluaran negara memang melonjak tinggi demi menanggulangi dampak pandemi Covid-19. Untuk menutupinya, pemerintah terpaksa menambah utang.
Menyikapi pelebaran target fiskal tersebut, anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno, mengingatkan pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru saja ditetapkan sebagai presiden-wapres terpilih untuk tidak kebablasan dan konsisten menjaga disiplin fiskal.
Komitmen pemerintah untuk menjaga pengelolaan kas negara di tengah gejolak ekonomi global ini akan menjadi salah satu poin penting yang disoroti DPR saat membahas RKP dan Rancangan APBN 2025 bersama pemerintah, pertengahan Mei 2024 ini.
”Harus ekstra hati-hati sekali. Pendekatan janji kebijakan yang populis seperti program yang gratis-gratis ini memang baik untuk masyarakat. Tetapi, apakah kondisi (keuangan negara) kita mampu?” katanya, Rabu (24/4/2024), merujuk pada janji kampanye Prabowo-Gibran untuk memberikan makan siang gratis ke ibu hamil, anak sekolah, dan anak balita.
APBN utang, lembaga negara utang, BUMN utang, pemerintah daerah utang. Kita harus ekstra hati-hati ke depan.
Ruang fiskal atau dompet negara memang semakin menyempit. Saat ini saja utang negara yang diwariskan oleh rezim Joko Widodo ke Prabowo sudah terhitung besar. Menurut catatan Kementerian Keuangan, jumlah utang pemerintah per 29 Februari 2024 telah mencapai Rp 8.319,22 triliun. Rasio utang juga sudah naik sampai 39,06 persen terhadap PDB.
Sebagai perbandingan, Jokowi memulai masa jabatannya pada tahun 2014 dengan warisan utang dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebesar Rp 2.608 triliun. Utang di era Jokowi banyak berasal dari kebutuhan pembangunan infrastruktur dan penanggulangan pandemi Covid-19.
Kanan-kiri berutang
Hendrawan mengatakan, saat ini hampir semua kantong keuangan negara dibebani oleh utang. Utang APBN terus membengkak, badan usaha milik negara (BUMN) juga memiliki tanggungan utang besar, bahkan kini pemerintah daerah ikut menerbitkan surat utang daerah atau obligasi yang rencananya meluncur di pasar modal pada triwulan IV tahun 2024.
”Jadi, semua kantong negara dari saku kanan kiri atas belakang ibaratnya sudah diisi utang. APBN utang, lembaga negara utang, BUMN utang, pemerintah daerah utang. Jadi, kita benar-benar harus ekstra hati-hati ke depan,” ujar Hendrawan.
Menurut dia, meski rasio utang masih di bawah 60 persen terhadap PDB, indikator itu tidak bisa dijadikan patokan. Indikator yang lebih tepat untuk menakar beban utang negara adalah rasio pembayaran cicilan bunga utang terhadap penerimaan negara. Pada 2024, rasio ini sudah mencapai 17,9 persen, melonjak dari posisi 2014 (8,6 persen) dan 2019 (14,1 persen).
Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan menunjukkan seberapa besar porsi pendapatan negara untuk menanggung pembayaran bunga utang seiring dengan penambahan akumulasi utangnya.
Dengan rasio yang meningkat, porsi pembayaran cicilan bunga utang semakin membebani fiskal dan memperkecil ruang untuk belanja lain yang lebih produktif. Dalam APBN 2024, alokasi belanja bunga utang mencapai Rp 497,3 triliun. Anggaran untuk membayar cicilan utang itu sudah menduduki posisi tertinggi di atas jenis belanja lainnya dalam komponen belanja pemerintah pusat.
”Pemerintah selalu mengatakan aman karena rasio utang masih di bawah batas aman dan pemegang surat utang kita itu mayoritas dari domestik. Tetapi, kita tidak boleh terlena, karena dengan beban utang yang semakin besar, kapasitas negara untuk memberi pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat semakin berkurang,” katanya.
Dengan beban utang yang semakin besar, kapasitas negara untuk memberi pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat semakin berkurang.
Secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu enggan berkomentar banyak terkait penetapan target dan sasaran fiskal dalam RKP 2025. Ia mengatakan, hal itu masih akan dibahas lebih lanjut oleh pemerintah bersama DPR.
”Nanti kita ikuti saja, ya, prosesnya. Ini, kan, proses siklusnya sudah jelas bahwa nanti RKP ini akan diproses di DPR. Sekarang ini, kan, masih di pemerintah, belum masuk ke DPR. Jadi kita lihat saja nanti,” ujarnya di sela-sela acara halalbihalal Kementerian Keuangan di Jakarta.
Sebelumnya, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto juga mengingatkan pemerintah untuk menjaga disiplin fiskal, terutama di tengah kondisi ekonomi global yang semakin tidak pasti akibat meningkatnya tensi geopolitik.
Saat ini saja APBN sudah dihadapkan pada risiko pembengkakan anggaran subsidi energi di tengah potensi lonjakan harga minyak dunia serta pelemahan rupiah terhadap dollar AS akibat eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah.
”Risiko fiskal meningkat karena ruang manuver pelebaran defisit menjadi lebih sempit. Jika kondisi geopolitik terus memanas, risiko fiskal akan naik. Sementara di sisi lain, ruang untuk perubahan defisit sudah menyempit,” kata Eko.