BI Rate Naik Jadi 6,25 Persen, Sektor Riil Perlu Antisipasi
Dengan menaikkan suku bunga, biaya pinjaman akan meningkat dan berdampak negatif terhadap sektor riil.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen. Kenaikan suku bunga ditempuh guna memitigasi dampak rambatan risiko global dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz, berpendapat, BI tampaknya lebih berhati-hati dalam menghadapi risiko eksternal. Penekanan BI pada kebijakan pre-emptive menunjukkan, BI bersiap untuk mengurangi tekanan terhadap rupiah, terutama dengan menaikkan suku bunga pasar uang bersamaan dengan suku bunga acuannya sebagai respons terhadap kenaikan imbal hasil obligasi AS.
”Kami tidak melihat BI akan menurunkan suku bunga kebijakan tahun ini, terutama karena tingkat FFR (Fed fund rate) yang masih tinggi, kecuali jika terjadi perubahan signifikan dalam dinamika global yang mendukung ekspektasi penurunan suku bunga The Fed,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (24/4/2024).
Irman menambahkan, BI menyadari perlunya respons kebijakan moneter yang kuat untuk mengurangi tekanan eksternal seiring dengan adanya ketidakpastian. Kendati demikian, BI turut memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dua kuartal pertama 2024 dapat melebihi pertumbuhan kuartal terakhir 2023 terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga selama hari raya, investasi yang lebih kuat dan kelanjutan proyek-proyek strategis nasional.
Sebelumnya, peneliti bidang makroekonomi dan keuangan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, mengatakan, Indonesia berada dalam tekanan nilai tukar yang masif dan mengalami arus modal keluar yang signifikan dalam dua minggu terakhir.
”Keputusan menaikkan BI Rate tampaknya bukanlah langkah ideal yang perlu diambil saat ini. Dalam beberapa hari terakhir, rupiah mulai stabil di level normal baru, yakni sekitar Rp 16.200 per dollar AS seiring dengan sentimen high for longer,” katanya.
Menurut Riefky, BI masih memiliki beberapa alternatif kebijakan yang dapat dioptimalkan dengan dukungan cadangan devisa yang memadai. Dengan menaikkan suku bunga, biaya pinjaman akan meningkat dan berdampak negatif terhadap sektor riil.
Kami tidak melihat BI akan menurunkan suku bunga kebijakan tahun ini, terutama karena tingkat FFR (Fed fund rate) yang masih tinggi.
Dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI secara daring, Rabu (24/4/2024), Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan RDG yang berlangsung pada 23-24 April 2024 memutuskan, suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 6,25 persen, suku bunga deposit facility menjadi 5,5 persen, dan suku bunga lending facility menjadi 7 persen.
”Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 1,5-3,5 persen pada 2024 dan 2025 sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability,” kata Perry.
Ia menilai, dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian meningkat. Hal ini didorong oleh perubahan arah kebijakan moneter Amerika Serikat dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Tetap tingginya tingkat inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi AS, kata Perry, mendorong spekulasi penurunan suku bunga acuan AS (FFR) yang lebih kecil dan lama dari perkiraan (high for longer). Hal itu membuat kebutuhan utang AS semakin besar yang diiringi dengan meningkatnya imbal hasil obligasi AS (US Treasury) dan pada gilirannya membuat dollar AS semakin kuat.
Di sisi lain, ketegangan geopolitik di Timur Tengah mengakibatkan investor global mengalihkan portofolionya ke aset yang lebih aman, terutama dollar AS dan emas. Kondisi tersebut membuat aliran modal asing keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang terus berlanjut.
Akibatnya, transaksi modal dan finansial pada triwulan I-2024 diperkirakan defisit. Pada periode yang sama, investasi portofolio membukukan jual neto(net outflows)sebesar 0,4 miliar dollar AS dan berlanjut hingga 22 April 2024 dengan jual neto mencapai 1,9 miliar dollar AS.
”Kondisi ini memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia,” ujar Perry.
Pada 16 April 2024, indeks dollar AS terhadap mata uang utama (DXY) telah mencapai level tertingginya sebesar 106,25 basis poin (bps) atau terapresiasi 4,86 persen dibandingkan akhir tahun 2023. Hal ini mengakibatkan hampir seluruh mata uang global, termasuk rupiah.
Secara tahun kalender, beberapa nilai tukar melemah, antara lain yen Jepang sebesar 8,91 persen, dollar Selandia Baru 6,12 persen, baht Thailand 7,88 persen serta won Korea Selatan 6,55 persen. Adapun pelemahan rupiah per 23 April 2024 terhitung lebih rendah, yakni 5,07 persen.