Ketidaklancaran Distribusi Elpiji 3 Kg Masih Jadi Kendala
Kendala distribusi elpiji 3 kg atau elpiji subsidi membuat kelangkaan terjadi di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur dan Bali. Pertamina diminta untuk terus turun ke masyarakat dalam mengatasi masalah itu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan kelangkaan elpiji 3 kilogram atau elpiji subsidi masih kerap terjadi, antara lain diakibatkan ketidaklancaran distribusi serta ketidaktepatan sasaran. Pemerintah meminta PT Pertamina (Persero) terus turun ke masyarakat di tingkat bawah untuk memastikan persoalan tersebut teratasi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji, di Jakarta, Senin (31/7/2023), mengatakan, saat ini ada aturan dari Pertamina bahwa alokasi penjualan elpiji sebesar 80 persen ke pengguna akhir (di pangkalan resmi) sehingga maksimal ke pengecer 20 persen. Namun, sosialisasi dirasa kurang masif.
Menurut Tutuka, ketersediaan elpiji sebenarnya cukup dan kendala ada pada pendistribusian. ”Saya sudah sampaikan ke Pertamina, harus turun ke bawah membantu masyarakat. Harus tertangani dengan baik. Tak bisa jika hanya menyuruh masyarakat beli ke pangkalan. Kalau tidak ada kendaraan bagaimana? Mengambil itu perlu waktu,” ujar Tutuka.
Di sisi lain, keberadaan pengecer elpiji subsidi juga menjadi tantangan dalam pendataan konsumen yang dicocokkan dengan data Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Pasalnya, pembeli yang membeli dari pengecer, bukan pangkalan resmi elpiji, menjadi tidak terdaftar/teregistrasi.
Ia menambahkan, pendataan dan pencocokan data, yang ditargetkan selesai akhir 2023, bertujuan agar penyaluran elpiji subsidi lebih tepat sasaran. ”Kami paham, di beberapa daerah ada ketidaktepatan sasaran, seperti elpiji subsidi yang dipakai di warung atau rumah makan. Maka, kami data. Namun, baru registrasi (pendataan nomor induk kependudukan), belum ada pembatasan,” kata Tutuka.
Sejumlah permasalahan itu terjadi di masa transisi menuju penyaluran yang tepat sasaran, ketika pencocokan data sudah selesai. ”Di masa transisi ini, masalahnya lebih pada distribusi yang kurang cepat. Namun, melalui registrasi ini, nanti penyaluran subsidi jadi ke orangnya langsung. Ke depan akan lebih tepat sasaran,” lanjutnya.
Berdasarkan regulasi yang berlaku, harga jual eceran elpiji 3 kg di titik serah atau agen/penyalur adalah Rp 4.250 per kg atau Rp 12.750 per tabung. Pada tahap selanjutnya, di pangkalan/subpenyalur, harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan oleh tiap-tiap pemerintah daerah. Sementara di pengecer tidak ada pengaturan harga.
Warga semestinya bisa langsung membeli elpiji subsidi di pangkalan resmi. Namun, pantauan Kompas, di beberapa wilayah di DKI Jakarta dan Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, praktiknya tidak sederhana. Salah satunya, kebiasaan warga membeli di pengecer terdekat.
Adapun di Jawa Timur sempat terjadi kelangkaan sehingga para kepala daerah turun mengecek langsung ke lapangan. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa juga melakukan konfirmasi ke Pertamina. Pertamina Patra Niaga Jawa Timur Bali Nusa kemudian menambah pasokan elpiji kemasan 3 kg total sebanyak 1.023.511 tabung (Kompas.id, 27/7/2023).
Kurangnya ketersediaan elpiji subsidi juga terjadi di Bali. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati kemudian melakukan inspeksi mendadak ke stasiun pengisian dan pengangkutan bulk elpiji (SPPBE) di Denpasar, Minggu (30/7/2023) sore. Pihaknya akan menindak tegas agen atau pangkalan yang menjual elpiji subsidi 3 kg tidak sesuai dengan aturan berlaku.
Dia mengatakan, stok elpiji subsidi di Bali sebenarnya tersalurkan dengan baik dari SPPBE ke agen hingga pangkalan. Namun, yang perlu diawasi selanjutnya adalah distribusi hingga ke masyarakat agar tidak terjadi kelangkaan.
Dalam sidak tersebut, Nicke menemukan kejadian menarik. ”Saat kami ke pengecer disampaikan stoknya kosong, padahal jaraknya hanya 30 meter dari pangkalan resmi. Jadi, ternyata selama ini bukan dari pangkalan mendapatkan stoknya, tapi ada kendaraan yang drop. Ini tidak sesuai dengan aturan yang ada,” ujarnya.
Nicke menekankan, jika ada agen dan pangkalan yang menjual elpiji subsidi di atas HET yang ditetapkan pemda, ia tidak segan untuk menindaknya, misalnya dengan mengurangi hingga menyetop stoknya. Ia juga meminta bantuan pengawasan dari masyarakat sehingga subsidi elpiji dapat benar-benar dinikmati warga yang berhak.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, berpendapat, baik pemerintah maupun Pertamina kurang ketat dalam mengawasi distribusi elpiiji subsidi. Akibatnya, kelangkaan hingga harga jual yang lebih tinggi dari HET yang ditetapkan pemda masih berulang terjadi. Ia pun mendorong pemda dilibatkan dalam pengawasan.
Peningkatan pengawasan, imbuh Akmaluddin, menjadi hal paling krusial saat ini dalam membenahi tata niaga elpiji subsidi. ”Untuk pendataan konsumen masih membutuhkan waktu. Sama dengan rencana pengaturan (BBM) pertalite. Sudah pakai kode respons cepat (QR), tetapi pembatasan (bagi yang berhak)-nya belum berjalan. Pengawasan terpenting,” katanya.